Thursday, January 31, 2013

Filled Under: ,

Tangisan Bukit Seuntang

"Minggu depan kita akan merambah di Bukit Seuntang" kata Maman dengan tenang pada beberapa orang anak buahnya.
"Apa, Bukit Seuntang Bang?" Tanya Rudy dengan nada sedikit kaget.
"Ya, emangnya kenapa Dy?"
"Apa abang yakin dengan keputusannya ini?"
"Iya, lagipula disana hutannya masih banyak dan bagus. Ini prospek besar Rudy. Kita akan mendapatkan untung besar" Ceramah Maman dengan sangat semangatnya.
Bukit Seuntang adalah sebuah bukit yang terletak di pedalaman. Dinamakan Bukit Seuntang karena sudah sejak dahulu di perbukitan ini ditumbuhi kayu Seuntang yang besar dan menjulang tinggi. Selama ini belum ada orang yang berani mengusik keasrian Bukit Seuntang. Sehingga Bukit yang luasnya tidak seberapa itu masih banyak menyimpan keanekaragaman hayati yang semakin langka di daerah-daerah lain.
1359637227937010165
Sumber: http://jundiurna92.wordpress.com
"Oya Rudy, kemarin sepertinya ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan pada abang tentang remcana kita minggu depan" tanya Maman pada suatu sore disaat mereka sedang mempersiapkan peralatan untuk menggunduli Bukit Seuntang.
"Iya bang, apa kita sudah mendapatkan ijin dari masyaraat untuk mengambil kayu-kayu di Bukit Seuntang?" Rudy balik bertanya.
"Ha ha ha ha, masyarakat katamu Rudy? Perlu kamu tahu ya, kita tidak butuh izin mereka. Bukit Seuntang bukan milik masyarakat. Abang sudah mengurus izin di pihak berwenang dan kita juga sudah mendapatkan restu dari "penguasa" Bukit Seuntang" jelas Maman.
"Penguasa kata banga? Jin maksudnya?" Rudy terkagetkan dengan penjelasan Maman.
"Apa? Jaman gini masih percaya jin, hehhhe. Maksud abang penguasa adalah para preman-preman baik yang resmi maupun yang tidak. Jadi kita tidak akan ada yang menganggu lagi nantinya Rudy. Kita aman."
"Tapi bang.."
"Tapi apa lagi?"
"Di Bukit Seuntang betul-betul ada penghuninya, ada jinnya bang"
Bukit Seuntang selama ini terkenal dengan bukit yang angker. Masyarakat disekitar bukit percaya bahwa disana dihuni oleh makhluk halus penjaga bukit. Inilah yang menyebabkan belum ada orang yang berani menebang kayu disana kecuali untuk keperluan rumah tangga saja. Menurut paham masyarakat disana, jika kayau-kayu di Bukit Seuntang terutama kayu-kayu Seuntang yang besar tinggi di tebang maka akan penghuni bukit akan marah dan akibatnya akan petaka bagi mereka. Memang selama ini belum ada petaka karena buki Seuntang masih lestaridan semakin rimbun.
"Abang sudah dengar cerita itu Rudy, tapi itu dongeng. Tidak ada jin, tidak ada penghuni. Puluhan hutan telah kita masuki. Ribuan kayu telah kita tebang. Ratusan juta uang telah menjadi milik kita. Dan selama itu kita tidak pernah berjumpa dengan yang namanya penghuni hutan. Dan abang percaya begitu juga di Bukit Seuntang"
"Tapi bang.."
"Sudahlah Rudy, jangan buang waktu lagi, persiapkan segala kebuthan kita"
Pembicaraan itu terputus. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Satu persatu kayu Seuntang roboh. Menghantan tumbuhan kecil disekelilingnya. Raungan mesin saling bersahutan. Burung-burung saling berterbangan. Para monyet bergelantungan ke pohon-pohon yang masih kokh sebelum pohon itu juga tumbang. Aksi perambahan hutan telah berlangsung lebih dari seminggu. Ratusan kayu gelondongan diangkut dengan ke kilang kayu. Tak ada pilih kasih. Setiap kayu yang bisa menghasilkan uang berarti harus ditebang.
Semakin hari sinar matahari semakin mudah menerpa Bukit Seuntang yang semakin gundul. Hanya semak belukar dan puntug-puntung kecil yang tersisa. Suara-suara Seanshow semakin jarang terdengar. Mobil-mobilpun hanya sesekali lewat untuk mengangkut sisa-sisa kayu. Hanya butuh waktu 3 bulan untuk melenyapkan hutan rimbun di Bukit Seuntang yang telah terjaga ratusan tahun. Semua berakhir.
135963716993893748
Sumber: http://www.greenpeace.org
"Rudy, rumahmu sudah selsai belum?" tanya Maman pada suatu hari ketika mereka sedang mempersiapkan aksi perambahan hutan lainnya.
"Sudah bang, hanya tinggal terasnya saja kok"
"Baguslah. Tapi hati-hati nanti penghuni Bukit Seuntang mencarimu hehhe" canda Maman.
"Ah abang ni, tapi rumah abang yang di kaki Bukit kan sangat bagus"
"Iya, nanti aku sewakan pada penguasa disana"
Meskipun penenabang di Bukit Seuntang mendapat protes dari masyarakat tapi sampai saat ini Maman dan komlotannya belum terusik. Tidak ada juga gejala petaka dari penguasa bukit Seuntang seperti yang dipercaya masyarakat selama ini. Masyarakat mulai tenang. Apalagi sekarang mereka mempunyai lahan pertanian baru di bekas hutan Bukit Seuntang. Lahan-lahan kosong yang mulai tandus iu dimanfaatkan untuk menanam palawija.
Musim hujan telah datang. Masyarakat sudah mempersiapkan benih untuk ditanami dilahan.
Tidak biasanya hujan turun dengan lebatnya di malam itu. Disaat masyarakat terlelap dalam mimpi mereka. Petir menyambar, gemeruh saling bersahutan.
Bukit Seuntang ambruk. Tumpahan air dari langit tidak mampu ditahan oleh tanah yang tandus. Bongkahan-bongkahan tanah meluncur bersama air. Satu persatu rumah di kaki bukit ikut tertimbun dan ambruk. Sungai kecil di kaki bukit meluap. Genangan air menyerbu desa.
Penduduk tersentak. Berhamburan keluar dengan paniknya. Mereka mencari tempat-tempat yang tinggi kecuali Bukit seuntang yang sedang mengamuk. Tak ada harta benda yang bisa diselamatkan. Karena rumah-rumah terendam air dan sebagian lainnya tertimbun longsor. Kepanikan luar biasa benar-benar membuat masyarakat kocar-kacir termasuk Maman dan komplotan yang bermukim disana.
Keesokan harinya diketahui bahwa puluhan penduduk menjadi korban keganasan Bikit Seuntang. Maman tewas bersama yang lainnya. Rudy patah-patah sedangkan rumahnya hancur tak berbekas.
"Pak Kades. Penguasa Bukit Seuntang mengamuk. Ini semua kesalahan kami Pak" kata Rudy ketika mereka sudah tinggal di pengungsian.
"Bukan Bang Rudy, tidak ada penguasa Bukit Seuntang, tidak ada jin yang kuasa mendatangkan malapetaka" sahut seorang pemuda yang selama ini kuliah di Ibukota Propinsi.
"Walaupun kedua orangtuaku meninggal akibat longsor tapi bukan karna amarah jin" sambungnya.
"Nak Arif, sejak dari kakek saya, semua percaya bahwa dibukit Seuntang ada penghuninya. Jika kita menebang pohon-pohon seuntang tersebut maka akan terjadi bencana. Dan buktinya desa kita menjadi korban darinya" sahut seorang petua yang selama ini terkenal sebagai tokoh adat desa tersebut.
"Betul kek, apa yang kakek-kakek kita bilang dulu semua benar bahwa jika kita menbang hutan-hutan akan terjadi bencana. Dan bukan hanya hutan di Bukit Seuntang tetapi juga hutan-hutan yang lain" jelas Arif.
"Iya Nak, makanya semalam Bukit seuntang menangis dan menggenangi desa kita" pak tua itu menimpali lagi.
"Tapi itu bukan karena penguasa yang selama ini dipercaya masyarakat kek, bang Rudy. Tapi karena kita telah merusak kelestarian alam. Kepercayaan yang selama ini dipercaya masyarakat sebenarnya adalah cara nenek moyang kita menjaga hutan. Dengan memistiskan suatu hutan maka kita akan takut menebang kayu disana sehingga hutan-hutan tersebut akan tetap ada. Dan jika kita menebangnya maka terjadi lahan-lahan yang gundul. Lahan-lahan itu tak akan mampu menahan air hujan seperti malam itu. Tanah-tanah yang tidak ada lagi penyangganya akan longsor. Sungai akan meluap karena air hujan tidak lagi meresap ke tanah. Sebenarnya ini kepercayaan ini sebuah kearifan lokal dalam menjaga hutan" jelas Arif.
"Maksudnya Rif?" tanya Rudy
"Maksudnya kita harus tetap menjaga hutan dan lingkungan kita. Ada atau tidak adanya kepercayaan akan penguasa hutan kita tetap tidak boleh menebang secara sembarangan di hutan. Cara-cara nenek kita menjaga hutan patut diapresiasi tapi bukan untuk merusak keimanan kita dengan percaya akan adanya penghuni htan yang akan membawa petaka."
"Jadi sekarang apa yang akan kita lakukan lagi?" tanya kepala desa.
"Kita harus kembali menghutankan Bukit Seuntang. Tidak semua bagian Bukit Seuntang kita jadikan lahan pertanian tetapi sebagian besar harus kembali menjadi Hutan Seuntang"
"Setuju" jawab Pak Kades diikuti oleh penduduk lainnya yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan ini.
1359637112355855427
Sumber: http://indonesiarayanews.com


0 comments:

Post a Comment