Sunday, May 22, 2011

Filled Under:

Ku Dibantai di Tanahku


Embun pagi masih menempel  didedaunanku yang hijau dan muda ketika sebuah suara menggelar dari bukit sebelah. Suara yang mengerikan dari mesin pembunuh yang dibawa oleh manusia bejat dalam hutan rimba. Aku yang dikelilingi oleh teman-temanku dan kerabat yang setia menaungi tanah masih tegar berdiri disini, bukan karena tidak takut dengan apa yang telah terjadi pada sahabat jauhku yang lain tetapi hanya karena kami ditakdirkan untuk tidak bisa berpindah tempat. yach, kami hanya sebatang pohon yang harus setia ditempat pertama kali berdiri, setia menanti matai dan semoga tidak mati di tangan para penjarah tak bertanggung jawab.
Suara itu semakin dekat dengan di barengi suara - suara tumbangnya pohon - pohon besar penopang alam dan pemberi karbon bagi dunia. Pohon - pohon itu direbahkan tak beraturan dan lebih banyak menimpa tanaman lainnya sehingga lapanglah tanah kami dan gersanglah kawasanku. Ku terhenyak, ketika dari kejauhan kelihatan 3 orang pria dengan tubuh tegap berkulit hitam memanggul sebuah senjata pemotong. Mereka berjalan menerobos tanaman yang kecil yang pastinya dengan sabetan parang tajam di tangan. Tak peduli apa kegunaan kami bagi alam, mereka mematikan anak-anak kami, mereka mencedarai saudara kami, mereka menghancurkan keluarga kami.
3 manusia gelap tak berbaju namun berpeluh masam berhenti sekitar 20 meter dariu. Tingginya batangku membuatku bisa melihat jelas apa yang mereka lakukan. Oh Tuhan, mereka membawa sebuah gergaji mesin, jerigen berisi bensin atau solar, parang, dan sedikit bahan makanan. Mereka menunjuk nunjuk ke arah beberapa pohon yang usianya hampir seusiaku namun dengan jenis yang berbeda. Ah pohon itu, aku berharap bukan pohon itu tujuan mereka, pohon yang menjadi penghuni sebuah bukit dengan keteduhan dan mampu menyimpan sumber air bagi tanaman disekelilingnya. Aku tak ingin pada hari ini pohon itu yang dihancurkan dan dibawa pulang entah kemana, mungkin untuk dijadikan bangunan rumah, peralatan rumah, atau lainnya.
Aku hanya sebatang pohon namun punya perasaan, punya manfaat bukan hanya untuk bangunan. Kami dilahirkan untuk keseimbangan alam, kami hadir menjaga iklim, kami tumbuh sebagai penyejuk alam. Kami bersama-sama membangun hutan demi sejahteranya manusia, dan jangan lupa kami mengayomi semua makhluk, semua hewan yang hidup dalam hutan kami.
Matahari sudah mulai meninggi diatasku, rasa panas mulai menyebar di sekitar hutan. Keadaan ini sangat berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, dimana kesejukan dan kenyamanan selalu hadir dan menyapa. Dulu embun sangat lama menempel di daun kami, dulu tanah akan lembab sampai sore, dulu anak - anak kami yang masih bayi tak akan layu daunnya, dulu tunas - tunas kami tumbuh dengan kelembutan, dulu bunga - bunga mekar dalam kasih sayang. Sinar matahari mulai menembus tanah tempat aku berdiri, menghujam akar - akar kuatku, memeras simpanan air yang ada di tanah pijakanku, mematikan hewan kecil yang menggemburkan tanah.
Pria-pria itu berpaling arah, menatap ke arahku, menunjuk dahan - dahanku yang besar. Mereka mendekat, mereka semakin dekat, mereka menerobos semak belukar yang indah. Burung - burung terbang tinggi ketakutan, teriak histeris seakan faham apa yang akan terjadi nantinya. Sebuah tangis pilu dari rusa yang dari tadi berteduh di rimbunnya aku memecah kehangatan hutan.
Tak lama menunggu akhirnya mereka berhasil juga mendekatiku, seandainya aku bisa berlari maka aku akan berlari sejauh mungkin, bukan untuk aku, tapi untuk manusia juga, untuk keseimbangan alam, untuk kebutuhan makhluk hidup lainnya. Aku membayangkan apa yang telah terjadi pada sahabat-sahabatku beberapa bulan lalu, mereka di bantai, ada sebatang kayu yang langka, ada pohon yang sangat berguna, ada batang yang seharusnya diselamatkan, tapi semua dujadikan gelondongan. Ah ngeri, tapi apa yang bisa aku lakukan.
Batangku terasa perih, getahku mengucur deras, kulitku hancur bersama suara mesin kejam pemusnah hutan. Ya, aku menjadi pilihan hari ini, terpilih sebagai korban kebrutalan manusia.
Di saat - saat terakhirku ini, ku coba membayangkan kejadian banjirnya pemukimana manusia karena hutan berkurang, karena tanah tak mempunyai akar pohon yang sanggup menampung air, karena longsong yang menyongsong kota, karena udara yang semakin panas. Tidak berpikirkah pria - pria ini? Apakah mereka bahagia dengan uang yang didapatnya walau keluarga mereka terancam musnah?
Sebagian batangku mulai terpotong, aku pasrah karena kami tak bisa melawan. Aku semakin sakit, semakin gelap dunia ini, aku linglung, aku bingung. Inilah akhir hidupku. Inilah pengorbananku. Semoga aku yang terakhir.
(Tulisan ini adalah ilustrasi illegal logging dilihat dari sudut pandang tumbuhan hutan)

0 comments:

Post a Comment