Tuesday, January 29, 2013

Filled Under:

Po, Si Anak Hilang

“Po, kamu sakit ya? Kamu menangis ya?”

Po cuma diam membisu, dia terduduk di rimbunnya ilalang. Dengan mata yang berkaca-kaca, Po menatap Bahrum yang bersimpuh di sebelah kanannya. Po tidak bergerak, seakan merasakan sakit dan sesal yang mendalam. Pelan-pelan Po menoleh ke Bahrum, seperti menghiba dan mendadak menggerakkan kaki kananya. Bahrum tersentak, tak terasa mengayunkan tubuh dengan cepat menjauh dari Po. Po kembali diam.

“Po, ada apa denganmu, kenapa kamu diam dan hanya menggerakkan kaki kananmu. Ada apa dengan kaki kirimu Po?” Bahrum kembali mendekat. Dia memantapkan hati untuk memeriksa kaki kiri Po yang masih tersembunyi dibalik ilalang. Tubuh Po yang besar sebenarnya masih mengcutkan hati Bahrum tapi rasa penasaran akan keadaan Po telah menyemangitinya.

“Tenang Po, Bapak gak akan mencelakanmu dan bapak harap kamu juga tidak mencelakakan bapak” Bahrum mulai mengusap hidung Po, menjelajahi wajah Po yang kasar dan berhenti di telinga. Po masih tenang seperti merasakan usapan orangtuanya yang telah lama tidak dirasakan. Po merebahkan kepalanya di rerumputan Seakan memberi peluang bai Bahrum memeriksa kakinya.

“Ya Allah, kakimu Po, kakimu tertusuk paku. Kenapa bisa begini Po? Siapa yang melakukannya?”

Po hanya mendesah sambil mendekatkan kepalanya dengan Bahrum. Po merasa nyaman dan begitu juga Bahrum. Paku-paku yang ada di telapak kaki Po pun dicabutin Bahrum. Tak ada rintihan.

Po dan Bahrum semakin akrab. Mereka bertemu setiap hari. Setiap Bahrum datang ke kebun tentu Po telah menunggu disana. Kian hari kaki Po semakin membaik dan dia sudah bisa berlari mengitari hutan yang lebat dan di sore hari kembali ke kebun Bahrum.

Bukan hanya Bahrum yang akrab dengan Po, tetapi warga yang yang sering ke kebun juga telah menjadi teman Po. Seakan Po kini menjadi anak yang hilang yang telah datang mengisi hari-hari warga. Tapi sekian lama tidak pernah hadir keluarga Po untuk menjenguknya.

“Po, kamu bapak kembalikan ke ibumu ya?” tanya Bahrum suatu hari.

Po berontak, dia marah. Berlari ke kebun pisang. Mencabuti pisang-pisang di kebun. Po serptinya marah. Dia meraung-raung sambil terus merusak kebun warga.

“Po, tadi bapak cuma bercanda!” Teriak Bahrum kepada PO. Dan dalam sekejap Po kembali tenang.
Begitulah, Po semakin tidak ingin meninggalkan Bahrum dan yang lainnya.Masyarakatpun sudah sangat menyayangi PO.

Pada suatu hari, serombongan orang yang mengaku dari institusi lingkungan hidup datang ke desa dimana Bahrum tinggal. Mereka bermaksud membawa Po ke Pusat Penangkaran Satwa Liar tetapi masyarakat mencegahnya karena bagi mereka Po telah menjadi  bagian dari keluarga. Akhirnya rombongan itu pulang.

Beberapa hari kemudian, rombongan tersebut datang lagi dengan tambahan personil dari pihak keamanan. Masih seperti maksud kedatangan yang pertama mereka ingin membawa Po ke Pusata Penangkaran. Kali ini masyarakat kalah. Mereka tak kuasa mempertahankan Po di habitatnya. Po diangkut ke Pusat Penangkaran Satwa Liar.

Bahrum merasa kehilangan sahabat, anak, keluarga, dan peliharaannya.

Tidak ada kabar dari Po.

Beberapa bulan kemudian, segerombolan gajah mendatangi kebun-kebun warga. Mereka memproak-porandakan tanamana. Mengahncurkan kebun dan pondok-pondok warga. Masyarakat resah. Karena sudah puluhan tahun gajah tak pernah mengusik pekebunan mereka.

Dan mulai hari itu, 4 ekor gajah terus merusak perkebunanan. Tanaman kacang, jagung, pisang, nangka, ubi semua menjadi tak berguna. Tidak ada lagi hasil panen. Meski sudah dilakukan upaya pengusiran tetapi mereka bergeming. Laporan ke Pemda dan pihak terkait juga belum mampu menghalau Poe Meurah - Poe Meurah tersebut.

Apakah mereka mencari anaknya yang hilang? Atau habitat mereka telah sangat terusik?

13594601691769666837
Sumber: himpalaunas.com

Terinpirasi dari kisah nyata di salah satu desa pedalaman di Aceh.

0 comments:

Post a Comment