Sunday, May 22, 2011

Filled Under:

Wasiat di Gubuk Tua (#1)

Malam masih terasa dingin, rintik hujan diluar berirama memecahkan kesunyian malam. Tak ada suara jangkrik dan cacing tanah yang biasanya turut memramaikan suasana malam. Tak ada nyanyian burung hantu di bukit sebelah dan tak ada teriakan harimau yang biasa memburu binatang ternak para penduduk. Hanya suara hujan beradu dengan dedaunan, menghantam atap dan mendarat ditanah yang telah basah.
Mas Mus, Geboy, dan Herry masih terpaku di sebuah gubuk di pinggir hutan. Hanya Hamzet yang terlihat mondar - mandir seperti mencari sesuatu. Dia melayangkan pandangannya ke seluruh ruangan dan sesekali  menatap wajah Herry yang pucat pasi. Tak ada aliran darah, tak ada desahan nafas, tapi dia belum mati, hanya menyandarkan kepalanya ke dinding yang terbuat dari bambu dan duduk beralaskan tikar tua. Sebuah meja kayu dengan sepasang kursi tua masih utuh di tengah ruangan, buku - buku yang berserakan di atas meja menandakan gubuk ini pernah didiami oleh orang - orang yang gemar membaca. Tak ada yang berani menyentuh buku - buku itu kecuali Herry yang kini terduduk lesu setelah membaca salah satu buku tua yang telah berdebu. Sebilah parang tua terselipkan di dinding dekat pintu keluar dan didekatnya ada sebuah lampu minyak yang telah usang. Rintik hujan seakan telah menetes dalam ruangan tetapi sebenarnya atap rumah masih utuh. Itulah suasana yang harus dilewati malam ini oleh 4 pemuda pecinta alam yang terdampar di pinggir hutan tak bertuan.
“Jangan Ham?” Teriak Herry memecahkan kesunyian ketika tiba - tiba Hamzet ingin meraih buku yang telah di baca Herry tadi. Herry hanya bersuara tapi dirinya masih duduk terpaku dengan sorotan mata tajam menatap Hamzet.
“Kenapa Her, kenapa kami tidka boleh membaca buku itu? Kenapa kamu ketakutan? Ada apa?” tanya Hamzet tanpa memberi kesempatan menjawab bagii Herry.
Diam, hening dan sepi lagi. Tak ada jawaban. Tak ada pertanyaan lagi.
“Herry, kamu harus jelasin kepada kami, apa yang kamu baca tadi? Kita tidak ingin penasaran begini karena rasa ingin tahu?” Mas Mus yang sejak tadi terlihat menyibukkan  diri dengan sebuah gelas antik yang ditenukan di gubuk itu juga ikut bersuara.
“Iya, kamu harus jelasin. Kasih tahu apa yang kamu baca dan kenapa kamu ketakutan?” Geboy ikut menimpali.
Herry yang memimpin petualang ini masih terlihat resah. Matanya masih pucat, nafasnya tidak teratur dan tidak biasanya dia ketakutan. Biasanya, setiap ada petualangan, Herry adalah semangat Tim, dia mampu menghilangkan ketakutan teman - temannya. Dia masih diam, masih menatap ruang hampa seakan dia tak mendengar ocehan Mas Mus, Geboy dan Hamzet yang juga telah diliputi rasa takut dan penasaran. Melenyapkan keberanian mereka selama ini.
“Her, kamu harus jawab Her atau aku akan membacanya juga!” Suara Mas Mus meninggi dan dia bangkit tetapi dengan cekatan Herry meraih kakinya Mas Mus. Mas Mus tersungkur tepat di sisi meja. Tangannya tak bisa menggapai buku tersebut.
“Sialan kau Her, apa maksudmu?” Mas Mus mulai marah. Temperamennya naik.
“Aku tak bisa jelaskan, aku yang bersalah?” Jawab Herry
“Salah? Salah apa Her? Kita terdampar disini karena ini keputusan bersama. Tak ada yang bisa kita persalahkan dan besok kita aka lanjutkan perjalanan”. Hamzet ikut menyela.
“Kalian tidak tahu, dan lebih baik kalian tidak tahu atau …” suara Herry terputus, dia kembali diam, terduduk lemas dan matanya berkaca - kaca.
“Atau apa Her?” Tanya Geboy yang mulai penasaran. Semua memandang Herry sekarang.
“Sudahlah, lebih baik besok kalian lanjutkan perjalan da tinggalkan aku sendiri di gubuk ini!” Bentak Herry dengan keras, terlihat dia mulai marah tetapi seakan masih ada yang disembunyikan.
“Apa? Kamu ingin tinggal disini? Kita kesini bersama - sama dan kita akan pulang bersama - sama … “
“Dan jika perlu kita akan mati bersama - sama pula” Geboy melanjutkan ucapan Mas Mus tadi yang belum selesai.
Herry kembali diam, Mas Mus diam, Hamzet tetap tak pernah duduk dan Geboy mulai mengintip keluar dari celah dinding yang robek. Tak ada pembicaraan lagi. Kembali yang terdengar hanya rintik hujan yang berlomba mencapai bumi.
“Teman - teman!” Herry memanggil teman - temannya “Aku tidak boleh kasih tahu siapapun tentang yang aku baca atau aku akan mati”
“Mati????? ” Mas Mus, Geboy dan Hamzet menyahut serentak. “Kenapa bisa? Memangnya ada apa ini?” tanya Hamzet lagi.
“Ya, karena aku telah lancang membaca wasiat tersebut!”
“Wasiat apa Her?” tanya Geboy penasaran.
“Aku tak bisa jelasin sama kalian atau aku akan mati, jalan satu - satunya adalah aku harus tetap tinggal di gubuk ini. Hanya itu yang bisa menangkal petaka dari kelancanganku.” herry menjelaskan dengan suara parau dan marah.
“Oke Her, sekarang kamu jelasin ke kita biar kita tanggung semua disini. Gimana teman - teman?” Hamzet menawarkan solusi
“Iya aku setuju!” Jawab Mas Mus yang juga dianggukan oleh Geboy.
“Aku tidak bisa, karena jika aku jelaskan maka aku akan mati dan kalian yang nantinya telah mendengarkan bukuku maka tidak boleh keluar lagi dari gubuk ini kecuali kalian akan mati juga!”
“Aku tidak percaya,sekarang ceritakan pada kami apa wasiat itu” desak Hamzet
“Baiklah teman - teman, aku akan kasih tahu kalian, biarlah aku terima semua resikonya dan kalian tidka penasaran lagi, tetapi ingat jika aku nantinya benar - benar mati setelah menceritakan wasiat ini maka kalian jangan keluar dari hutan tak bertuan ini selama 44 bulan.”
“Ok!”
Lalu Herry merapatkan tubuhnya ke teman - temanya. Dia berbisik kepada Hamzet dan tubuhnya langsung mulai lunglai, darah mulai mengucur dari hidung dan kulitnya, tapi dia masih bergerak berbisik pada Geboy dan sebelum mencapai Mas Mus tubuh Herry tersungkur mencium tanah.
“Herry!!!!!!!!!” Teriak Geboy, Mas Mus, dan Hamzet.
Petaka itu terbukti, Herry tewas setelah menceritakan wasiat yang dibacanya.
“Eh Ham, Geboy, apa yang dikatakan Herry pada kalian? Ceritakan padaku!” pinta Mas Mus
Geboy dan Hamzet kini terduduk dan saling menatap, seakan mata mereka saling berbicara dan
“Mas Mus, sebaiknya kamu segera tinggalkan tempat ini sekarang juag”
“Jangan desak kami untuk menceritakan padamu”
Mas Mus semakin penasaran, dia terus mendesak Geboy dan Hamzet tapi mereka tetap bersikukuh, Hamzet mendekap buku yang telah dibaca Herry sehingga Mas Mus benar - benar tidak tahu isi buku tersebut.
Mereka terduduk di sudut yang terpisah, tak lama kemudian ketiganya telah berada di alam mimpi masing - masing.
++++++++++++++++
“Mas Mus, bangun!! Oy bangun dan pergilah!” Geboy membangunkan Mas Mus tetapi tubuh yang digoyangkan dari tadi tidak bereaksi. Diam dan telah membeku. Mas Mus telah menyusul Herry setelah membaca semua isi buku yang diambilnya dalam dekapan Hamzet.
Yang tinggal hanya Hamzet dan Geboy, tanpa pikir panjang Geboy langsong menggotong tubuh Herry dan diikuti Hamzet yang memikul tubuhnya Mas Mus. Mereka meninggalkan ransel dan semua peralatan  di gubuk tua dan bergegas menuju ke pemukiman warga. Dengan kaki lunglai dan wajah yang pucat keduanya terus bergerak lambat tetapi pasti. Pemukiman telah terlihat, hutan tak bertuan pun akan segera ditinggalkan tetapi tiba - tiba tubuh Hamzet ambruk, Geboy kaget dan dia terdiam begitu sadar kalau sekarang hanya dia yang tersisa. Geboy merasa tubuhnya dingin, tangan dan kakinya terasa tak berfungsi dan Geboypun roboh disisi ketiga temannya.
Hanya burung elang yang menyaksikan perginya 4 sahabat sejati ini. Hanya desiran dedaunan yang saling mengucap belangsungkawa. Pelangi dan mentari seakan berlomba mengucapkan salam perpisahan.
Tak ada yang tahu wasiat gubuk tua hutan tak bertuan. Karena semua saksi menerima petaka dan hilang.
(bersambung)

0 comments:

Post a Comment