Sunday, May 22, 2011

Filled Under:

Pangeran Kenthir dan Sandal Tua

Tersebutlah di sebuah pedalaman yang di kelilingi hutan belantara nan hijau sebuah kerajaan kecil yang dikenal sebagai kerajaan Kenthir. Di tepi hutan batas kerajaan Kenthir, tepatnya di sebuah desa, hiduplah seorang seorang pemuda bernama Green Borne. Di balik kulit hitam legam yang membungkus tubuhnya dan suaranya yang parau tersimpan hati yang mulia berkilau bak permata. Di tengah kehidupan penduduk kerajaan Kenthir lainnya yang memang makmur dan serba berkecukupan, keseharian Green Borne sangat bersahaja, hidup dalam kesederhanaan. Dibanding dengan penduduk kerajaan lainnya, penduduk kerajaan Kenthir memang lebih makmur. Sawah ladang nan subur terhampar luas menjadi sumber mata pencaharian utama. Sungai-sungai dan danau menyediakan berbagai jenis ikan seolah tiada habis meski diambil setiap hari.

Istana Kerajaan Kenthir berdiri megah di pusat kota ditengah-tengah rumah-rumah penduduknya yang hidup makmur. Di sana tinggallah seorang raja yang rajin sekali beramal baik. Namanya Raja Amaluddin. Putrinya yang beranjak dewasa, Youly Chang menjadi kembang istana. Kecantikan parasnya yang berhias sepasang mata sipit, kulitnya yang kuning bersih dan rambutnya yang hitam legam bak arang basah menjadi buah bibir sehari-hari warga di seluruh penjuru kerajaan. Penduduk seperti tak bosan-bosan memperbincangkan putri kerjaan yang dicintainya. Tapi sayang sekali, Ia tak pernah tersenyum. Wajahnya selalu bersedih seperti diliputi kedukaan.

Suatu hari, Sri Paduka Amaluddin berbincang santai di teras istana. Beberapa pejabat istana, permaisuri dan Youly Chang putrinya, mendampingi Sang Raja. Mereka mengobrol dengan santainya. Sesekali bercanda ringan khas Kerajaan Kenthir.

“Ananda Youly, ananda telah dewasa. Kiranya sudah cukup umur bagi ananda untuk mendapatkan jodoh. Sudah waktunya Ayahanda dan ibunda menimang cucu”, begitu ucap Raja Amaluddin tiba-tiba. Ditatapnya anak semata wayangnya lekat-lekat. Sebentar kemudian dipandanginya hutan belantara hijau nun jauh di sana. Pandangannya seolah mencari siapa gerangan yang pantas menjadi pendamping hidup putrinya.

Ditanya demikian Youly Chang agak kaget. Sontak semakin ditundukkannya wajahnya dalam-dalam. Maklum selama ini ia belum pernah berpikir soal dengan siapa pun. Gurat kesedihan semakin nampak membias di wajahnya.

“Sendika ayahanda, apapun titah ayahanda akan ananda laksanakan. Seperti ayahanda ketahui, pergaulan ananda terbatas di lingkungan kerajaan ini saja. Ananda bahkan belum pernah berpikir soal pendamping hidup”, sang kembang kerajaan menjelaskan dengan tertunduk.

“Baiklah, putiku… bagaimana kalau aku jodohkan?”

“Ananda terserah ayahanda saja. Ananda yakin akan memberikan yang terbaik buat ananda.”

“Dari sekian banyak pangeran dari kerajaan seberang, siapakah gerangan yang menyenangkan hatimu, duhai putriku?”, baginda Raja Amaluddin sedikit menyelidik.

“Ananda tidak tahu, Ayahanda..”

“Tidak ada satu pun yang membuat hatimu gembira?. Ayo, jujur saja. Bila memang ada, akan ayahanda jodohkan ananda dengan pangeran itu”, desak sang raja.

“Ananda benar-benar tidak tahu, ayahanda… Mereka yang pernah datang ke sini justru semakin membuat hatiku tak nyaman.”

Raja mengerutkan dahi. Raut wajahnya menampakkan ia sedang berpikir keras.

“Apa pendapat kalian? Apa yang harus aku lakukan?”, pandangannya tertuju kepada patih dan penasihatnya, Mas Kolis dan Wepe.

“Ampun baginda… Bagaimana jika diadakan sayembara untuk mencari jodoh yang tepat buat tuanku putri”, saran Mas Kolis, sang Patih Kerajaan Kenthir.

“Mengapa harus sayembara? Bukankah cara seperti itu di kerjaan lain digunakan bila keadaan benar-benar terpakasa? Untuk menyembuhkan keluarga kerajaan yang sakit, misalnya”, nada suara sang Raja terkesan tidak setuju.

“Ampun Kakang… hamba setuju usul sang Patih. Menurut hamba, dengan sayembara putri kita akan mendapatkan pendamping hidup yang tepat. Terus terang saja, hamba kurang bersimpati kepada pangeran-pangeran yang pernah datang kemari”, Sibel, Ibu permaisuri berpendapat.

“Memang ada apa dengan pangeran-pangeran itu, sehingga adinda permaisuri punya sikap seperti itu?”, tanya sang Raja kepada Ibu Permaisuri menyelidik.

“Ampun Kakang Baginda Amaluddin… hamba meragukan kepribadian para pangeran yang pernah berkunjung kemari. Mereka hidup bermewah-mewah, sementara rakyatnya hidup miskin. Kabar yang pernah hamba dengar, para pangeran itu sering memungut upeti secara paksa kepada rakyatnya. Hamba tidak ingin jika kelak ia menjadi pangeran di sini, akan membuat rakyat kita tercinta hidup sengsara”, Sibel, permaisuri yang amat dicintai rakyatnya mengutarakan alasan.

“hmmmm… baiklah. Aku juga tidak ingin rakyatku menderita karena aku salah memilih pendamping hidup putriku. Sekarang…. kau Wepe, segera tugaskan prajurit untuk mengumumkan sayembara itu.”, Wepe yang sedari tadi hanya menyimak mendapat perintah Raja.

“Duli baginda… titah baginda akan hamba laksanakan”, sang penasihat raja segera bangkit. Dengan sikap hormat ia menyatakan kesiapannya. Sejenak kemudian, ia turun dari teras istana untuk melaksanakan titah rajanya.

***

Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan pun berganti bulan. Sudah tiga bulan lalu sayembara dibuka, namun baru memasuki bulan keempat ini ada yang mengikuti sayembara. Mungkin karena syaratnya yang dirasa berat sehingga sangat sulit untuk mencari peserta sayembara. Ya, betapa sulit memang untuk membuat hati putri senang. Apa lagi membuat sang kembang kerajaan tersenyum. Konon, raja Amaluddin pernah menggelar pesta tujuh hari tujuh malam sekadar untuk membuat hati sang putri riang. Namun itu tak berhasil. Wajah sang putri yang cantik tak pernah menyunggingkan senyum sedikitpun.

Hari itu datang dua orang pemuda gagah melamar menjadi peserta sayembara. Ia datang dari pulau seberang. Keduanya adalah Tuan Edy dan Tuan Arman, saudagar kaya raya yang memiliki puluhan kapal niaga. Satu-persatu mereka menghadap sang putri yang didampingi Baginda Amaluddin dan Ibu suri Sibel. Ditunjukkanlah emas permata, berlian dan manik manikam yang berkilauan tertimpa cahaya. Namun hati Youly tak juga tergoda. Tetap saja wajahnya sedih. Tak tampak sedikit pun titik kegembiraan terbit dari sinar matanya.

Begitulah, setiap hari ada saja peserta yang memberanikan diri menggugah hati sang kembang kerajaan untuk memancing seulas senyum. Pamer kekayaan, pamer ketrampilan silat bahkan bertingkah lucu pun, gumpalan sedih di hati sang putri tak jua beranjak sirna. Terlihat raut wajah putus asa menyirat di kening sang Baginda.

Hari ini adalah hari pertama bulan kelima sejak sayembara diumumkan ke seluruh kerajaan. Serang pemuda gagah dengan pakian amat sederhana namun bersih melangkah memasuki halaman istana. Seorang penjaga regol (pintu gerbang), segera menegurnya.

“Maaf Ki Sanak, Ki Sanak hendak kemana. Ini halaman istana. Siapa pun yang ingin masuk ke sini harus mendapat ijin prajurit penjaga dulu”, tanya seorang penjaga regol tegas sambil buru-buru mencegat tepat di depan pemuda itu.

“Maafkan hamba, hamba tidak tahu. Hamba hendak mengikuti sayembara”, jawab pemuda itu gugup.

“Oh begitu…”, timpal prajurit penjaga regol. Diturunkannya kembali tombak di genggamannya yang tadi dalam keadaan siaga.

Dilambaikannya tangan prajurit itu ke arah rekannya mengisyaratkan untuk mengantar si pemuda ke halaman tengah istana. Dengan sigap prajurit yang dipanggil segera beranjak dari tempat duduknya dan berjalan memandu sang pemuda ke halaman tengah.

“Perkenalkan, hamba Green Borne, berasal dari desa di tepi hutan batas kerajaan”, pemuda itu memperkenalkan diri kepada Mas Kolis, sang patih. “Maafkan hamba datang terlambat, hamba baru mendengar kabar sayembara ini”.

“Jadi maksudmu kamu akan mengikuti sayembara ini, wahai pemuda desa? Apa yang kamu andalkan. Kulit hitammu itu? Asal tahu ya, pageran para saudagar kaya dan pemuda-pemuda yang memiliki keahlian hebat tak satu pun mampu membuat putri Youly tersenyum. Sedangkan kamu yang dari desa, bisa apa, heh?”, dengan nada sinis Mas Kolis nyerocos meremehkan Green Borne.

“Ampuni hamba…..”

“Tuanku Patih!”, Mas Kolis dengan kesal meneruskan kalimat Green Borne, yang tidak tahu tentang siapa dirinya.

“Ampuni hamba, tuanku patih. Perkenankan hamba mencoba mengikuti sayembara ini”, pinta Green Borne memelas.

“Biarkan dia ikut sayembara patih. Semua orang berhak mengikuti sayembara ini…”, ucap ibu permaisuri setengah berteriak melihat gelagat Mas Kolis hendak mempersulit pemuda kegam itu.

“Sendiko Gusti”, sembari mengatupkan dua telapak tangannya tanda hormat, Mas Kolis memundurkan langkahnya.

“Silakan menghadap sang putri”, seorang prajurit mempersilakan Green Borne menghadap sang putri di paseban.

Sesampai di paseban, Green Borne segera menuju menghadap sang putri yang duduk di sebuah kursi berukir indah. Dilihatnya wajah sang putri yang menunduk. Tak ada sedikitpun senyum. Sinar matanya redup.

“Ampunkan hamba sang putri. Sudikah kiranya sang putri mengenakan ini?”, pinta Green Borne setelah mengeluarkan dari bungkusan yang diselipkan di balik bajunya. Sepasang sandal tua, butut dan nyaris tak berbentuk kini berjajar di dekat telapak kaki sang putri. Sang putri tampak ragu. Namun beberapa saat kemudian ia turun dari kursi dan memasang sandal itu di kedua kakinya. Tiba-tiba….. wuusssssssssss………. Setelah semua sandal terpasang sempurna, pemuda hitam di hadapannya tidak tampak. Kepulan asap putih menyelimutinya.

Perlahan-lahan asap itu menipis. Kemudian tampaklah seorang pemuda tampan nan gagah berkulit kuning langsat dengan pakaian sederhana namun bersih. Wangi tubuhnya menyeruak hingga ke hidung tuan putri. Tuan putri pun terkesima… Ketika ia melihat ke bawah, ke kedua kakinya, dilihatnya kini sandal tua butu itu telah berganti dengan sandal kaca bertatahkan berlian. Ia pun tersenyum lebar. Di depannya, seorang pemuda juga menyunggingkan senyum kepuasan karena telah berhasil mengusir kesedihan di wajah tuan putri Youly Chang. Seluruh paseban istanapun riuh dengan sorak sorai. Satu-persatu yang ada di situ mengucapkan selamat kepada pemuda tampan itu dan kepada tuan putri. Hati sang kembang kerajaan semakin gembira.

Begitulah akhirnya sang pemuda desa itu menjadi pendamping hidup Putri Youly Chang. Sebagai Pangeran Kerajaan Kenthir, setiap hari ia bersama sang putri mengunjungi rakyatnya. Keluh kesah rakyat Kerajaan Kenthir ia dengarkan dan memberikan sedikit bantuan. Bahkan tak jarang ia meminjamkan kereta kudanya untuk membawa salah seorang rakyatnya yang sakit kepada seorang tabib di kota. Kini lengkap sudah kecantikan Putri Youly Chang. Kebaikan hatinya berhias senyum indah yang setiap hari ditebarkan menyapa rakyat yang amat dicintainya.



+++++

Maka berbahagialah orang orang yang bisa membuat orang lain tersenyum walau dengan harta yang dianggap tak berharga oleh orang lain. Karena perbuatan baik itu akan selalu berbuah manis.

0 comments:

Post a Comment