Sunday, May 22, 2011

Filled Under:

Hikayat Cinta di Krueng Peusangan

“Dek Ti, kita disini untuk meresapi, merenung akan alam yang telah tergerus usang oleh masa. Hilang raib ditelan panasnya bumi dan tingginya kerusakan alam”

Begitulah ungkapan yang ku ucapkan 4 tahun lalu pada seorang gadis yang jelita ketika aku dan dia tiba di tepi Krueng Peusangan.

Waktu yang terus berputar telah mebawa aku kembali ke tempat yang dulu pernah kusinggahi. Tepi sungai Krueng Peusangan yang terlihat semakin suram. Tidak ada lagi pohon waru tempat kami berteduh dan bercengkrama seperti dulu. Tidak ada lagi bebatuan yang meriakkan air jernih di sungai ini. Semua itu hilang, lenyap seakan tak berbekas. Yang tinggal hnaya air keruh dan tebing juram yang siap runtuh ketika hujan tiba. Dulu, besama Dek Ti aku sering datang untuk mendengarkan kicauan Cempala yang merdu seakan bercerita tentang kami. Dulu kami kesini ketika hubungan percintaan kian suram, mencari makna cinta alam yang hakiki yang seakan akan abadi.

4 tahun telah berlalu, ketika sore itu di bawah hembusan bayu yang sendu, aku pamit padanya untuk pergi. Berpisah untuk bisa meramu cinta di masa datang bersamanya. Kini aku kembali hadir disini tapi sendiri. Tidak ada Dek Ti, tidak ada warga yang mencari ikan dengan bubee dan jaring, tidak ada ikan yang sesekali melayang menyapa udara hampa. Semua meninggalkanku, sepi, sunyi dan sendiri.

Aku lihat diseberang tak jauh dari tempatku berdiri, sebuah mesin penghisap pasir meraung menyedot perut sungai. Pasir terterbangkan kedaratan dan air Krueng pun semakin keruh. Tak jauh dari sana, sang beko bertangan besi tak henti-hentinya mengheruk pasir dan menempatkan ke mobil pengangkut. Pasir sungai ku pun di jarah mereka. Apakah mereka ingin mengambil semua dariku?

Ku ingat cerita Pak Idris bahwa dibawah tutue gantung tempat pertama kali aku ikrakan cinta pun telah di keruk. sedih hatiku, akankah monumen cintaku harus ambruk andai pasir dibawahnya di ambil oleh orang - orang yang katanya telah memiliki ijin penambangan. Ku tahu Pak Idris tidak berdusta, karena jembatan itu adalah satu - satunya penghubung desanya denga kota kecamtan dan kota kabupaten. Semakin teriris hati ini karena bukan aku saja yang merasa terkhianati. Tapi seluruh masyarakat disana.

Di ujung Krueng yang lain, sebagian desa telah runtuh ke sungai, warga pun panik, kebun - kebun durian mereka yang dulu sering ku sambangi juga hanyut ketika hujan tiba.

Semua kenanganku hilang. Dek Ti entah kemana, Krueng pun semakin hancur. Tak ada lagi bukti tulusnya cintaku. Ingin kupertahankan Krueng Peusangan ku agar cintaku pada Dek Ti tetap abadi sebagaima janji ku dulu padanya.

“Aku akan tetap mencintaimu dan seandainya kau menjadi milik yang lain maka biarlah Krueng Peusangan yang selalu menemaniku”.

0 comments:

Post a Comment