Saturday, February 2, 2013

Filled Under:

Topeng Nafsu

Aku adalah seorang pria yang terlahir dari keluarga sederhana. Pernah mengecap pendidikan Sekolah Tinggi meskipun tidak lulus karena disibukkan dengan masalah ekonomi. Tapi itu tak membuat diri ini menyesal karena bagiku belajar tidak hanya di bangku-bangku bersusun rapi. Jadi, jadilah aku pria yang mengejar segalanya. Egois. Selalu mengejar kesuksesan.
Teman-teman memanggilku Rimba meski itu bukanlah nama asliku. Hanya karena 3 tahun yang lalu aku bergabung dengan organisasi masyarakat pecinta lingkungan khusunya bidang hutan dan air. Meski sebagai anak baru tetapi aku selalu ingin menjadi terdepan. Berdebat, menonjolkan kemampuan, belajar dan bekerja adalah kesibukanku di sana. Dan dengan ini aku berharap mampu mengontrol pikiranku yang biasanya gundah. Tak ada tujuan ekonomi yang aku cari kecuali kebahagian.
Dua tahun lalu aku telah berhasil masuk dalam jajaran pengurus pusat. Aku dipercayakan untuk memberikan orasi jika ada demo baik dijalanan, didepan kantor pejabat atau tempat lainnya. AKu sering dipercayakan sebagai pemberi materi jika ada seminar lingkungan. Aku sering ditugaskan untuk melobi perusak-perusak lingkungan agar memperhatikan lingkungan. Aku menjadi ikon organisasi. Rimba, si penjaga hutan dan air. Itulah gelarku.
Mulai saat itu, tidak butuh waktu lama bagiku untuk melobi pejabat agar memberikan donasinya ke organisasi kami dalam melestarikan hutan. Hanya butuh beberapa kali pertemuan dnegan pengusaha sebelum mereka melontarkan segopak uang ke organisasi kami. Kegiatan lancar, organisasi besar, masyarakat senang kecuali para cukong perambah hutan, para pengusaha galian C ilegal. Tetapi Rimba menjadi penghalang bagi mereka untuk terus melanjutkan usaha-usaha mengkeroposkan hutan.
"Rimba, kau sangatlah hebat. Namamu telah dikenal oleh masyarakat sebagai penyelamat hutan. Dikenal oleh pengusaha sebagai rintangan bagi mereka. Dikenal oleh penguasa sebagai mitra kerja yang baik" kata Didi, seorang pengusaha muda yang ku ketahui ingin melakukan penebangan tidak jauh dari sumber mata iar yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat.
"Ya, itu karena buah kerja organisasi kami, bukan aku saja" jawabku singkat. Dan itulah gaya bicaraku. Singkat, lugas dan langsung ke tujuan.
"Tapi lihatlah dirimu Rimba, kehidupanmu. Penuh kekurangan. Keluargamu miskin. Kau bekerja ditempat tak bergaji. Kau hanya mementingkan orang lain. Dan lihatlah teman-temanmu, mereka hanya menggunakan separuh waktu untuk organsasi dan separuh lainnya untuk bekerja. Sehingga merka berkecukupan" lanjuta Didi.
"Cukup, aku mnta maaf karena lagi sibuk" potongku.
"Baiklah Rimba, ini sumbangan pertama kami untuk lembaga. Jika kau butuh uang untuk keperluan pribadi jumpai aku" Didi beranjak pergi dariku setelah dia meninggalkan selembar kartu nama diatas segopok uang.
***
Aku gelisah, teringat kata-kata Didi. Mata semakin sulit dipejamkan dan tidak biasanya aku bimbang. Benar kata-katanya kalau aku miskin, aku kekurangan dan kehidupanku berbeda dengan teman lainnya. Mskipun aku penuh prestasi tapi semua itu tidak bisa dijadikan uang. Dan jika ada uang semuanya aku serahkan untuk organisasi. Aku hanya menerima salary yang hanya mencukupi untuk makan dan kebutuhan pokokku saja. Lalu apakah aku akan selamanya begini? Apakah aku sudah bahagia. Jika iya, kenapa aku harus harus merana dengan pikiran ini dimalam ini?
***
"Jadi kau menerima tawaranku Rimba?" tanya Didi setalah hampir setangah hari kami ngobrol di sebuah cafe.
"Iya, asalkan kamu juga paham dengan tawaranku tadi" jawabku singkat.
"Oke, deal" kami bersalaman. Sebuah babak baru akan segera dimulai.
Aku masih beraktivitas seperti biasanya. Tak ada perubahan dalam kampanyeku menjaga hutan danHanya keadan ekonomiku yang berubah.air. Dana untuk lembaga masih mengalir seperti biasanya. Malah kadang jauh diatas target.
Telah dua bulan ini aku menggunakan mobil pribadi dalam kegiatanku. Keadan ekonomiku semakin membaik. Kinerja lingkunganku hanya tersisa untuk kampanye saja. Aku mulai jarang masuk ke pedalam untuk melihat langsung pengrusakan hutan. Aku mulai jarang bertemu media.
"Rimba, ada perusahaan yang cukup parah dalam merambah hutan, apa kamu bisa menemui pemimpin perusahaan itu?" tanya Pak Direktur pada suatu hari.
"Iya Pak, aku akan menemui Pak Didi, tapi selama ini dia juga menyumbang untuk kita pak!"
"Rimba, kau pernah bilang padaku. Lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan hutan. Jadi putuskan saja kerjasama dengannya. Aku juga heran, kenapa dia bisa lolos dari pantauan kita." ceramah Direktur.
"Oke Pak. Saya akan mencoba mencari jalan keluarnya"
Aku bingung. Aku terjerumus antara nama baik dan harta. Aku tersandera antara nafsu dan idealisme.
Jika aku memutuskan hubungan dengan Didi maka tidak ada lagi uang yang mengalir kepadaku. Lalu, ancaman Didi yang akan membongkar semuanya akan menjatuhkan nama baikku. Aku tidak mau disebut sebagai Rimba, si Topeng Nafsu. Yang rela menggadaikan idealisme, hutan, dan air untuk mengejar harta. Aku tidak mau. Tapi aku juga tidak mau kehilangan hartaku, sumber uangku yang melebihi dari sumber tempat aku bekerja.
***
Rimba, aktivis lingkungan Ditangkap
Begitulah Headline surat kabar dikotaku. Aku hanya bisa membacanya dari balik jeruji. Penggerebakan itu telah berhasil menjebakku. Persekongkolan para mafia hutan telah berhasil menjatuhkanku. Topeng nafsuku telah melukai semua torehan emas masa laluku. Kini aku hanya seorang hina.
Kadang, untuk mendapatkan kebahagian dunia kita melakukan berbagai cara. Dan sekian banyak dari mereka termasuk aku menggunakan topeng nafsu. Bersembunyi dibalik kebaikan untuk melakukan kejahatan. Bersembunyi di balik nama baik untuk melakukan kecuarangan. Tapi, kejahatan akan tetap terbongkar dan aku menjadi tumbal nafsuku sendiri. Nafsu keserakahan.

0 comments:

Post a Comment