Thursday, February 28, 2013

Filled Under:

Penjaga Terakhir

Seminggu yang lalu aku bertemu dengannya. Ketika sama-sama membeli sebilah parang pada pandai besi ternama. Sebenarnya ini bukan kali pertama aku membeli parang bahkan ini menjadi parang yang ketiga di bulan ini. Hanya karena setiap parang yang aku beli tidak memuaskanku maka terpakasa aku kembali membeli. Di sebuah gubuk yang dipenuhi parang, pisau, pedang, cangkul dan beberapa benda lain. Aku disibukkan mencari parang yang bagus dan rapi. Api untuk menempa parang masih menyala membara. Seakan memanaskan seluruh udara. Tukang besi masih sibuk menempa baja. Aku tertegun dengan parang-parang yang tak ku ketahui harga. Disaat itulah seorang pria paruh baya datang menyapa. Mengejutkanku yang sejak tadi tak bicara.
“Lihat apa kamu. Parang atau pisau?” tanya pria itu yang aku sendiri tak mengenalnya.
“Aku sedang mencari parang pak. Sudah 3 kali aku membeli parang tapi selalu kecewa. Jangankan untuk menebas kayu seuntang, menebas pisangpun kadang tak bisa” ujarku sambil tetap memperhatikan parang satu persatu.
“He he he, anak muda membeli parang. Jangan harap mendapatkan yang garang. Bisa-bisa itu parang sembarang yang dijual hanya untuk mendapatkan uang” uajarnya lagi yang membuat aku kembali menatapnya.
“Maksud bapak?”
Lalu dia menjelaskan tentang parang padaku. Tentang bentuknya yang tidak kaku. Tentang cara memilihnya sehingga tidak ditipu. Dia juga turut memilih sebilah parang yang menurutnya parang bermutu. Tanpa pikir panjang aku membeli parang yang ada tanda siku. Ternyata parang yang bagus di kotaku ditandai begitu.
Nek Lah, begitulah dia menyuruh memanggilnya. Lelaki tua yang dalam keseharian sibuk dengan hutan dan rimba. Dia penjaga hutan di kaki bukit berbatu. Bukan sembarang penjaga tetapi pekerjaan ini dikerjakan tanpa ada yang menggaji walau dengan beras satu bambu. Nek lah pernah bilang padaku bahwa dia menjaga hutan bukan untuk harta ataupun lembaran biru. Pekerjaan ini didekasikan bukan untuk dia ataupun aku. Tetapi semua ini dilakukannya untuk anak cucu.
Hari ini aku kembali bertemu dengannya. Sejak pertemuan pertama hampir setiap hari kami bertemu baik di rumahnya atau di tepi rimba. Kami bicara tentang air, hutan, dan segala satwa. Ilmunya cukup banyak dan hampir merata. Tidak ada teori ketika dia berkata. Bukti-bukti nyata dari pengalaman itulah yang ada. Aku tertegun setiap kali kami bicara. Aku terdiam karena dia benar-benar lelaki tua yang sangat berjasa.
“Kadang aku berpikir, ketika aku mati siapa yang akan menjaga hutan di kakit bukit berbatu” ujarnya di pagi ini.
“Bukankah masih banyak warga disini pak. Bukankah hutan itu bukan hutan bapak. Itu hutan masyarakat”
“Nak, itu hutan adat. Hutan itu memang bukan hutan aku tapi punya anak cucu yang dititipkan pada kita” begitulah selalu jawaban dia setiap kali aku mencoba menanyakan tentang hutan.
***
“Sudahlah pak, kita tidak akan mampu melawan mereka. Kita hanya rakyat biasa yang bisa diinjak-injak oleh kebijakan penguasa dan pengusaha. Kita akan selalu menjadi korban meski melawan atau tidak. Lebih baik bapak beristirahat di rumah saja. Ini bukan kesalahan bapak tetapi waktu yang tidak tepat dan bapak berada di posisi yang tidka tepat pula” aku mencoba merayunya untuk tidak pergi ke hutan pada hari ini.
Menurut informasi yang aku dengar dari warga kampung, pada hari ini akan ada pengusaha yang meninjau lokasi di hutan adat desa. Mereka berencana membuka perkebunan sawit dengan didukung penguasa. Untuk kesejahteraan masyarakat katanya. Untuk menambah pendapatan daerah dalam pembangunan, rayu penguasa. Semua masyarakatpun sepakat melepas hak hutan adat demi segepok uang. Mereka terbuai oleh mimpi akan memdapatkan lapangan kerja di tempat itu.
“Tidak. Aku tidak pernah setuju dengan rencana ini. Kakekku, ayahku, dan aku telah menjaga hutan tetap asri. Mengapa hari ini aku harus berlari. Kita lihat saja nanti apa yang terjadi. Mereka yang akan pergi atau aku yang akan mati” dia masih bersemangat. Sama dengan semangat-semangat beberapa hari yang lalu. Tidak ada raut wajah ketakutan pada dirinya. Dan sebilah parang menyelip dipinggangnya.
“Pak, dengarkan aku. Bukan begini caranya melawan mereka. Ini negara hukum, kita bisa melapor ke pihak berwajib nanti. Kita tidak sendiri pak.”
“Tidak, aku bilang tidak maka tidak. Siapa yang peduli dengan hutan ini kecuali kami yang hidup bersamanya. Pihak berwajib, aktivis, pemerhati, mereka sudah sering menjumpaiku dan kamu tahu apa yang mereka katakan?” Dia bertanya sambil menatapku dalam-dalam. Ada rasa takut dalam hatiku.
“Tidak pak”
“Persis sama seperti apa yang kau katakan tadi. Tapi lihatlah sekarang, hari ini hutanku akan dipindahtangankan. Hari ini hutanku akan sendirian. Hari ini biarlah dunia tahu bahwa masih ada yang menjaga hutan”
Dia berlalu dari hadapanku. Derap langkahnya semakin tegap. Dia seperti berpacu dengan waktu. Dengan kuda-kuda yang telah siap.
Aku masih tertegun di tempat aku berdiri. Hati aku ragu, apakah berlari mengikutu atau menunggu dengan resah hati. Semakin menjauh, samar-samar bayang tubuhnya menghilang di persimpangan jalan. Hatiku semakin bimbang. Aku takut sesuatu terjadi padanya, pada penjaga hutan. Ku bulatkan tekad untuk menyusul ke hutan.
***
“Kalian lihat aku, selama aku masih berdiri di wilayah hutan adat maka tidak seorang pun yang boleh merambah hutan ini. Kalian dengar?” Teriak Nek Lah yang membuat aku terkejut ketika sampai di hutan. Ada beberapa warga disana. Ada pria-pria berdasi disana. Ada lelaki-lelaki bersenjata disana. Dam mereka semua berdiri dihadapan Nek Lah.
“Nek Lah, dengarkan aku kali ini. Mari kita pulang. Mari Nek” aku berujar padanya. Mencoba menenangkannya agar sesuatu tidak terjadi.
Dia bergeming. Kaki-kakinya kokoh bak karang. Dengan sebilah parang ditangan, dia terlihat bak seorang kastria di medan perang.
Para pria-pria di kelompok seberang terdiam. Pembicaraan terhenti bagai di malam yang kelam. Hanya kicauan burung-burung yang terdengar. Desiran dedaunan diterpa angin yang masih segar.
“Kalian pergi dari sini, cepat” Nek Lah kembali menghardik pria-pria itu. Tapi mereka masih diam. Apakah mereka akan pergi atau, ah aku tidak boleh berpikir begitu.
“Door dorr”
Nek Lah terkapar. Aku tak sempat meraih tubunya yang berdiri disampingku. Darah segar mengucur di dada. Taka da lagi sinaran mata. Sebilah parang bertanda siku tergenggam erat ditangan.
====
Terinspirasi dari banyaknya penembakan terhadap pemilik lahan oleh “OTK”

0 comments:

Post a Comment