Thursday, February 28, 2013

Filled Under: ,

Ketika Tikus Paham

“Kenapa nak, kenapa kamu terlihat sangat ketakutan?” tanya ayah tikus begitu melihat anaknya terburu-buru masuk ke dalam lubang yang sangat dalam.
“Ayah, aku dikejar petani ayah, mereka membawa pentongan. Aku tak berani keluar lagi” jawab si anak.
“Hahahhahaha,,, anak tikus tidak boleh jadi penakut. Kita hewan pemberani. Pencuri dikegelapan dan dimanapun” ayah tikus menyemangati anaknya.
“Tapi ayah, kita bisa dibasmi”
Tikus kini menjadi musuh bagi petani-petani di desa Sukatani. Tanaman padi, kacang-kacangan, umbi-umbian diporak-porandakan. Tidak saja dimalam hari, tetapi disiang haripun para tikus melancarkan operasi mereka. Entah apa yang membuat mereka semakin berani mendatangai lahan-lahan warga. Mereka hanya lari ketika para petani bersusah payah mengejarnya sedangkan jika petani sibuk dengan tanamannya maka mereka pun sibuk mencari makanan dari lahan warga juga.
Seharusnya di bulan ini, para petani sudah bisa memanen padi-padi mereka, tetapi apa hendak dikata. Tikus telah menggagalkan panen mereka. Padi-padi yang sedang bunting dibabat habis oleh tikus. Hanya beberapa rumpun yang tersisa.
Bencana
Itulah yang dikenakan terdengar di mulut-mulut petani. Wabah tikus menjadi momok yang menakutkan sejak 3 tahun yang lalu. Hanya sesekali musim mereka sempat memanen padi dengan utuh dan di musim lainnya mereka hanya membawa duka ke anak-anaknya.
“Anakku, lihatlah bagaimana kerajaan kita makmur bebrapa tahun ini. Kamu tahu mengapa?” tanya ayah tikus pada anak-anaknya pada suatu sore ketika mereka sedang mencongkel ubi petani.
“Karena makanan kita melimpah ayah” jawab anak tikus dengan polos.
“Benak anakku, apa kamu tahu alasan lain?”
“Karena kita semakin banya ayah”
“Yah benar. Kita semakin banyak. Manusia semakin sulit mengusir kita. Meskipun ada yang mati karena diracun tetapi tidak bisa mengurangi populasi kita nak. Mereka yang mati adalah pahlawan bagi kita. Kita yang masih hidup harus tetap bertahan hidup” jelas ayah tikus.
“O begitu ya.”
“Ya nak”
“Nak. Sebenarnya kita bukanlah petaka bagi petani. Jika petani tidak merusak alam ini”
“Maksud ayah?”
“Manusia itu kadang berpikir cepat. Mereka hanya mau instant saja. Dulu di desa ini kita tidak bisa hidup damai karena musuh kita bukan hanya petani. Kita ditakdirkan juga menjadi mangsa binantang-binantang lain. Ular salah satunya. Selama ada ular maka kita menjadi makanan mereka sehingga populsi kita tidak akan membludak seperti ini sehingga petanipun tidak akan mendapatkan wabah tiuks. Tapi lihatlah sekarang, ular-ular yang tidak menggangu pertanianpun dibunuh oleh manusia padahal di alam ini ada rantai makanan. Kita memang ditakdirkan makan tumbuhan palawija tetapi kita juga menjadi mangsa binatang lain seperti ular dan ulara menjadi makan elang. Jadi jika satu rantai hilang maka rantai lainnya akan membludak seperti kita dan disisi lain ada yang semakin punah seperti elang yang kekurangan makanan.” jelas ayah tikus
“O saya paham sekarang. Jadi ini juga karena manusia tidak menjadi siklus rantai makanan ya.”

0 comments:

Post a Comment