Tidak terasa aku semakin tua. Anak-anaku
telah memasuki usia remaja. Semanjak suamiku meninggal 5 tahun lalu,
aku hanya bisa menghidupi keluarga sebagai seorang tukang cuci.
Hari-hari aku jalani penuh kebahagian yang kupaksakan di depan
anak-anakku. Aku tidak ingin anakku melihat aku dalam kesedihan. Aku
tidak ingin penderitaan selama ini mempengaruhi perkembangan anak-anak.
Sebagai seorang janda dari rentenir yang
pernah hidup kaya. Aku harus menjalani hidup dengan cemoohan, hinaan
malu. Semua harta yang dikumpulkan suamiku telah aku habiskan untuk
membayar utang-utang suamiku. Mengembalikan harta rampasan yang selama
ini telah banyak menyengserakan orang. Tidak ada yang tersisa kecuali
dua orang belahan hatiku yang saban hari juga mendapatkan ejekan dari
teman-temannya.
Malam ini hatiku sangat gelisah. Tidak
seperti biasanya aku tidak bisa memejamkan mata. Bayanganku melayang ke
kejadian tadi sore di rumah aku bekerja.
“Nina, kamu saya pecat” kata majikanku. Begitu dia pulang dari kantor.
“Kenapa? Kenapa saya dipecat?” Tanyaku penuh kebingungan.
“Kami sudah mendapatkan pembantu yang baru. Dia bisa nyuci dan masih gesit. Tidak sepertimu” Jelasnya.
Ya, tadi sore aku kembali tidak
mempunyai kerja. Tidak punya sumber penghasilan. Aku gelisah memikirkan
nasib anak-anakku. Aku takut mereka tidak bisa meneruskan pendidikan.
Betapa menderitanya mereka jika tahu aku tidak bekerja lagi. Sudah sejak
2 tahun lalu mereka ingin berhenti sekolah dan membantu mencari nafkah.
Tetapi aku selalu menolaknya.
Malam semakin larut. Aku masih juga
belum tidur. Kasurku semakin panas tertindih tubuh lemahku. Di kamar
yang usang ini, airmata mulai menetes satu persatu membasahi pipi. Aku
semakin galau, bimbang dan bingung. Kemana harus aku mengadu.
Saudara-saudaraku telah lama menjauhiku akibat kesombongan suamiku
sewaktu masih hidup. Sahabat-sahabatku meninggalkanku setelah aku jatuh
miskin. Dan tadi sore majikanku memecatku. Hanya anak-anakku.
Aku bangkit dari tmpat tidur. Dalam
remang malam aku membuka pintu kamar yang semakin tua. Melangkah
perlahan di ruangan tengah takut anak-anakku terbangun. Takut mereka
melihat airmataku. Takut mereka tidak bisa menikmati senyumku di tengah
malam ini. Langkah-langkah kecilku membawaku ke kamar mandi. Aku
mengambil wudhu dan kembali ke kamarku.
Satu persatu rakaat shalat malam aku selesaikan. Aku terlena di hadapan-Nya. Mengadu dalam shalatku.
Hati terasa mulai lega setelah aku
menyelesaikan shalat malamku. Entah ini shalat apa namanya karena ini
yang pertama bagiku. Aku pernah ingat ceramah seorang ustaz ketika aku
masih remaja bahwa jika gelisah maka kita harus mengadu pada Tuhan
melalui shalat dan do’a.
“Ya Allah, semua pintu telah tertutup
bagiku. Semua pintu rezki telah terkunci. Semua pintu kebahagiaan telah
rapat. Ya Allah, aku tidak meminta Engkau membukakan pintu-pintu itu.
Tapi bukakanlah satu saja jendela rezeki dan kebahagian bagi
anak-anakku. Amiin.”
Hatiku terasa damai. Aku kembali merebahkan badan yang semakin tua ini. Terlena dalam mimpi.
0 comments:
Post a Comment