Thursday, February 28, 2013

Filled Under:

Jendela Buat Anakku

Sumber: http://www.rumahpintar-kembar.com/2012/09/13/jendela-jiwa/
Sumber: http://www.rumahpintar-kembar.com/2012/09/13/jendela-jiwa/
Tidak terasa aku semakin tua. Anak-anaku telah memasuki usia remaja. Semanjak suamiku meninggal 5 tahun lalu, aku hanya bisa menghidupi keluarga sebagai seorang tukang cuci. Hari-hari aku jalani penuh kebahagian yang kupaksakan di depan anak-anakku. Aku tidak ingin anakku melihat aku dalam kesedihan. Aku tidak ingin penderitaan selama ini mempengaruhi perkembangan anak-anak.
Sebagai seorang janda dari rentenir yang pernah hidup kaya. Aku harus menjalani hidup dengan cemoohan, hinaan malu. Semua harta yang dikumpulkan suamiku telah aku habiskan untuk membayar utang-utang suamiku. Mengembalikan harta rampasan yang selama ini telah banyak menyengserakan orang. Tidak ada yang tersisa kecuali dua orang belahan hatiku yang saban hari juga mendapatkan ejekan dari teman-temannya.
Malam ini hatiku sangat gelisah. Tidak seperti biasanya aku tidak bisa memejamkan mata. Bayanganku melayang ke kejadian tadi sore di rumah aku bekerja.
“Nina, kamu saya pecat” kata majikanku. Begitu dia pulang dari kantor.
“Kenapa? Kenapa saya dipecat?” Tanyaku penuh kebingungan.
“Kami sudah mendapatkan pembantu yang baru. Dia bisa nyuci dan masih gesit. Tidak sepertimu” Jelasnya.
Ya, tadi sore aku kembali tidak mempunyai kerja. Tidak punya sumber penghasilan. Aku gelisah memikirkan nasib anak-anakku. Aku takut mereka tidak bisa meneruskan pendidikan. Betapa menderitanya mereka jika tahu aku tidak bekerja lagi. Sudah sejak 2 tahun lalu mereka ingin berhenti sekolah dan membantu mencari nafkah. Tetapi aku selalu menolaknya.
Malam semakin larut. Aku masih juga belum tidur. Kasurku semakin panas tertindih tubuh lemahku. Di kamar yang usang ini, airmata mulai menetes satu persatu membasahi pipi. Aku semakin galau, bimbang dan bingung. Kemana harus aku mengadu. Saudara-saudaraku telah lama menjauhiku akibat kesombongan suamiku sewaktu masih hidup. Sahabat-sahabatku meninggalkanku setelah aku jatuh miskin. Dan tadi sore majikanku memecatku. Hanya anak-anakku.
Aku bangkit dari tmpat tidur. Dalam remang malam aku membuka pintu kamar yang semakin tua. Melangkah perlahan di ruangan tengah takut anak-anakku terbangun. Takut mereka melihat airmataku. Takut mereka tidak bisa menikmati senyumku di tengah malam ini. Langkah-langkah kecilku membawaku ke kamar mandi. Aku mengambil wudhu dan kembali ke kamarku.
Satu persatu rakaat shalat malam aku selesaikan. Aku terlena di hadapan-Nya. Mengadu dalam shalatku.
Hati terasa mulai lega setelah aku menyelesaikan shalat malamku. Entah ini shalat apa namanya karena ini yang pertama bagiku. Aku pernah ingat ceramah seorang ustaz ketika aku masih remaja bahwa jika gelisah maka kita harus mengadu pada Tuhan melalui shalat dan do’a.
“Ya Allah, semua pintu telah tertutup bagiku. Semua pintu rezki telah terkunci. Semua pintu kebahagiaan telah rapat. Ya Allah, aku tidak meminta Engkau membukakan pintu-pintu itu. Tapi bukakanlah satu saja jendela rezeki dan kebahagian bagi anak-anakku. Amiin.”
Hatiku terasa damai. Aku kembali merebahkan badan yang semakin tua ini. Terlena dalam mimpi.

0 comments:

Post a Comment