Sunday, May 22, 2011

Filled Under:

Antara Cinta, Poligami, dan Orang Tua

Hari ini, aku kembali bertemu dengannya. Di sebuah warung yang dulunya kami sering ngobrol disini. Pohon beringin yang semakin kokoh menaungi warung yang telah usang namun tetap dipenuhi belanjaan modern ini. Aku duduk di pojok dengan memesan dua gelas minuman dingin pelepas dahaga dan makanan ringin secukupnya. Karena ku rasa pasti ada hal penting dan akan menghabiskan banyak waktu bila ngobrol dengan sahabatku ini. Seperti dulu, masa yang indah ketika berbicara tentang segala hal tan[pa peduli jarum jam yang terus berpacu memutar waktu. Ya, disini, di warung ini juga kami seering berkeluh kesah mencari jatidiri.
“Assalamualaikum” aku mengucapkan salam begitu melihat dia tepat berdiri di hadapanku.
“Wa’alaikumsalam..” jawabnya dengan seiris senyuman yang masih abadi dibibirnya.
“Sudah lama bang…?” tanyanya sambil menghempaskan diri di kursi depanku. Dia menaik nafas panjang dan kelihatan raut wajahnya akan kelelahan.
“Baru sampai juga,, ni baru mesan” sambil menghirup seteguk air..
“Ooo…”
“Bang, boleh tanya pendapat lagi…?” dia langsung menyambar dengan pertanyaan lagi. Bukannya minum dulu atau menanyakan aku, sahabatnya, yang telah lama tidak jumpa.
“Boleh” jawabku singkat.
“Ingin tahu tanggapan niyh…” sambungnya lagi
“Asal jangan minta pendapatan aja” aku mencoba bercanda untuk memcah ketegangannya.
“Apa pendapat abang tentang poligami…?”
Waduh, gawat juga topik pembicaraan ini, sejak kapan dia mulai tertarik dengan hal poligami. Bukankah banyak orang yang menentangnya dan beranggapan sebagai awal dari kehancuran keluarga. Ku coba perhatikan keseriusannya dan aku yakin dia sangat serius tentang hal ini.
“Boleh hukumnya dalam Syariat Islam” ku jawab dengan singkat dan memang itu yang aku tahu.
“Kalau abang pribadi mendukung kah…?” tanyanya lagi seakan sangat menanti jawabanku.
Oh my God….. kenapa malah menjurus ke aku ya,, pikirku dalam hati.
“Kalau memang si suami sanggup menafkahi istri-istrinya dan para istri ridha kepada suaminya dan poligami dilakukan untuk memperkecil maksiat maka abang dukung” aku mencoba memberi penjelasan sambil menghela nafas.
“Tapi kalau poligami karena nafsu walau semua perkawinan karena nafsu, balas dendam ke istri pertama, ingin pamer, nekat atau berpura pura mengikuti sunnah maka itu tidak abang dukung” lanjutku.
“Yang dimaksud dengan nafsu dalam hal ini mengarah ke mana bang…? Bisa dijelaskan dengan lebih detail…?” dia terus memburu jawabanku
“Pada dasarnya perkawinan adalah untuk melegalkan nafsu dalam menghindari dosa. Nafsu yang abang maksudkan disini adalah nafsu yang terlalu besar tanpa melihat kekurangan kita misalnya kekurangan materi kita, kekurangan rasa adil, kekurangan ridha istri, kekurangan kasih sayang. kadang poligami lebih kepada nafsu ingin mendapatkan istri kedua yang cantik, atau nafsu ingin memperlihatkan ke publik bahwa suami mampu” dengan tenang dan berlagak pintar kujelaskan agak panjang dan kuharap itu telah membuatnya cukup dan sehingga topik pembicaraan bisa dialihkan.
“Bagaimana dengan alasan mencintai hingga tak rela orang lain yg memiliki? Dalam arti kata berharap sang wanita menjadi miliknya, bukan untuk orang lain..” masih dalam bentuk pertanyaan juga.
“Alasan dari pihak mana itu?” ku ingin dia memperjelasnaya
”Alasan dari pihak laki-laki…” jaabnya singkat
“Abang rasa alasan seperti itu hanya pembenaran saja, kerakusan dalam memaknai cinta. Tetapi jika si istri pertama dan calon istri sama-sama ridha maka itu bukan persoalan walau tanpa mengungkapkan alasan seperti itu” ku coba mulai menjawab dengan agak lambat.
Dia terdiam, entah apa yang dia pikirkan. Ku lihat dia meraih gelas dan meminumnya sambil jemari kirinya memainkan Handphone nya. Kupikir telah telah puas.
“Jika semua diawali dengan kebohongan si laki-laki terhadap keduanya, meski pada akhirnya keduanya sama-sama ridha demi kebahagiaan si laki-laki, gimana bang?” dia kembali melanjutkan pertanyaannya.
Ku menarik nafas, menggeser tempat duduk dan berharap bisa memberikan jaabang yang tepat sesuai keinginannya. “Pada dasarnya setiap perbuatan yang dimulai kebohongan maka akan diikuti kebohongan lainnya tetapi seperti pada kasus yg adik bilang ini ketika para istri sudah memaafkan dan cuma mengambil hikmah dan terus melanjutkan hubungan yang sah ini, apakah kita di pihak ketiga akan menggugatnya? Tentu tidak khan?”
“Bang.., kali ini boleh tanya saran?” kembali pertanyaan yang keluar dari bibirnya, dengan suara seperti bergumam.
“Boleh” jawabku
“Jujur, ini adalah masalah yg menimpa adik”. Wajahnya diangkatnya dan matanya menatap jauh. Seperti ada keputusasaan dalam dirinya. Dia melanjutkan, “Adik rasa abang juga udah bisa menerka, namun terkadang adik bertanya-tanya. Akankah bahagia bila hidup berpoligami? Sementara seperti yang bang bilang, bila semua ini diawali dengan kebohongan, tentu akan diikuti dengan kebohongan lainnya, jika sekarang aja dia berbohong, bukan mustahil untuk ke depannya dia akan terus berbohong dalam menyikapi kami kan?” dia mulai membuat aku semakin bingung
“Apa menurut abang juga demikian? Atau ada kemungkinan dia akan selalu jujur dan terbuka setelah ini?” kembali dia sepeerti mencari kebenaran atau pembenaran dari ku.
“BETAPA BANYAK ORANG YANG BERBUAT KESALAHAN TAPI BERTAUBAT? “ dengan suara tegas aku menimpali pernyataannya.
“Itu pertanyaan atau pernyataan bang?” dia seperti terkejut mendengar jawabanku yang sengaja untuk memancingnya.
“Itu pernyataan abang untuk adik renungi juga. Artinya jangan menutup kemungkinan untuk hal kebaikan” jelasku
“Bukan menutup kemungkinan bang, memang tidak ada yang benar-benar bisa menjamin kecuali Allah” dia mencoba beradu argumen walau sangat singkat.
Kulihat wajahnya semakin serius dan dia sepertinya terus menanti jawaban jawaban selanjutnya. Ingin rasanya aku membuat suasana ini mencair bagai es di kutub utara yang terkena imbas pemanasan global.
“Hehee,,, jadi sekarang adik tahu bahwa calon adik sudah punya istri?” aku mencoba menggali sebuah pengakuan agar diriku bisa lebih fokus dan nyaman juga bagi dia jika ada saling keterbukaan.
“Namun keyataannya jalannya rumit sekali, rumit pula untuk menceritakannya mulai dari awal dan ya bang, dia sudah beristri.” Jawabnya dengan suara agak berat dan bagai memendam perasaan yang mendalam dan sulit untuk diuangkapkan
Hening, bagai keadaan di tengah malam di sebuah hutan yang lebat penuh dengan pepohonan yang alami. Padahal aku tahu bahwa tempat kami duduk ini adalah tempat yang termasuk ramai.
“Ketika mengetahui hal ini, adik ingin langsung memutuskan hubungan namun dia tetap bersikeras bahwa niatan dia sejak awal memang teguh hanya karena ingin mempersunting adik, tiada niatan buruk, meski dia mengakui bahwa cara yg ditempuhnya adalah salah.” Dia kembali menjelaskan walau sambil mengusap tetesan – tetesan butiran air dipipi yang mulai memerah.
Bingung, ya aku bingung dengan keadaan ini. Dia kelihatan sedih namun masih menanti jawaban yang aku sendiri sulit untuk membayangkan keadaan dia sekarang. Sangat beda ketika setahun yang lalu kami berjumpa.
“Hahhaaa,,,,, dalam hati adek, nurani adik gimn? Adik ikhlas?” tanyaku dengan santai sambil aku mengenang perjumpaan dulu dengan gadis yang terkenal sangat memilih calon pendamping hidup. Memilih dengan arti yang positif, misalnya suaminya nanti harus bisa menjadi imam dan mampu membimbingnya.
“Ikhlas dengan apa yang telah terjadi, ikhlas dimadu, namun adik sangsi dengan kemampuan dia. Bukan hanya menyangkut financial, tapi lebih kepada kemampuannya untuk bisa berlaku adil, kesanggupannya untuk menjaga kami semua.” Akunya, sebuah pengakuan yang sangat jujur keluar dari mulut wanita yang dipenuhi cinta dan asa masa depan.
“Keragu - raguan itu membatalkan semua dik” aku mencoba membuat nya bingung agar aku bisa melihat wajahnya kembali memerah. Hehee
“Ya, adik ngerti bang namun 1 hal yang menjerat langkah adik. Adik masih begitu mencintainya, adik sudah berupaya namun tak bisa menjauhkannya dari hati ini. Naif banget kan bang?” kembali sebuah pengakuan tulus, cinta. Ya cinta membuat gelap mata. Hak semua manusia untuk mencintai dan kadang mencintai itu membawa luka.
“Tidak ada yang naif, itu sifatnya manusia kok, tapi tidak adakah rasa cemburu dalam diri adik?” aku kembali membangkitkan semangatnya begitu aku tahu rentang besarnya cinta yang hingggap di hatinya. Hanya semangat yang akana menyatukan mereka dan tentunya seizin yang maha kuasa juga..
“Rasa cemburu pasti ada, bukankah itu sifat dasar dalam diri wanita. Namun selama tidak berlebihan dan adik masih berusaha memaklumi” jawabnya. Singkat namun penuh makna akan kelemahan cinta wanita. Dan ada yang mengatakan bahwa wanita yang cemburu tak akan bisa melihat jurang dari atasnya.
“Terus bagaimana dengan istri pertamanya?” aku Cuma bisa bertanya sampai sekarang.
“Adik sudah sering bicara dengannya bahkan kami sudah akrab, layaknya sahabat. Sejauh ini yang adik pahami kami tidak jauh berbeda, cemburu dan rasa sakit jelas tidak bisa dipungkiri. Namun kami sama – sama berusaha demi kebaikan bersama. Namun, sedikit masalah dalam hal ini, keakraban kami justru menimbulkan kecemburuan dia si laki – laki, mungkin dia merasa sedikit terabaikan bahkan terkadang saking akrabnya ngobrol, jadi menceritakan tentang dia. Akhirnya kami kena kasus ghibah deh!” dia menjelasakan dengan begitu lugas, seakan bebannya telah hilang.
“Kalau si istri apakah tahu hubungan kalian?” tanyaku lagi.
“Sama aja dengan adik bang, awalnya dia tidak tau tapi setelah adik tau, akhirnya dia juga diberitahu. Masalah ghibah tadi, sebenarnya adik nggak bermaksud begitu…..”
“Oya,, ghibah itu apa ya hehhe” aku menyela pembicaraan dia.
“Adik hanya berusaha meluruskan perkara yg sebenarnya, karena adik nggak ingin dipandang sebagai wanita yang tidak baik. Oya, ghibah itu kira-kira mirip seperti menggosip, menceritakan tentang orang lain sementara orangnya tidak ada. Orientasinya ke arah bercerita tenteng keburukan-keburukannya.” Dia tetap melanjutkan penjelasannya walau akhirnya menjawab juga pertanyaanku tentang ghibah.
“Oke kita kembali ke pokok permasalahan” aku meluruskan diskusi ke pokonya yakni poligami.
“Nah…, setelah adik ngobrol akrab dengan istrinya, barulah kami sama - sama tahu bahwa ternyata dia tuh suka ngomong berbeda - beda terhadap kami berdua.” Jelasnya lagi.
“Beda gimana?” sergapku tanpa melepas tatapanku ke matanya.
Kulihat dia mengambil tissue dalam tasnya dan mengelap bibirnya yang semakin kering. Lalu dia meneguk air putih yang telah disedikan. Kurasa tenggorakannya perih atau kering.
“Kira - kira begini bang! Contoh kecilnya dia menjalin hubungan dengan adik dengan serius, sementara dia bilang ke istrinya adik tuh cuma teman yang minta bantuan jasa pembuatan skripsi makanya sering ditelpon lama. Terus waktu dia datang ke adik, dia bilang adik yang mendatanginya bahkan kadang apa yg dinyatakannya ke adik, dibilang ke istrinya cuma bercanda. Entah apa maksudnya…? Kalau mau husnudzan, mungkin dia berusaha menjaga perasaan antara keduanya namun bukan mustahil dia memang sengaja membohongi demi kepentingan pribadinya. Ya kan bang?” dia menjawab dengan tegas sambil memainkan tissue ditangannya.
“Heheee kadang meneliti sebelum terlanjur itu bagus dan memperkirakan hal - hal terburuk itu mutlak dalam keinginan membangun rumah tangga, apalagi kasusnya seperti adik ini, tapi bukankah kini setelah adik akrab dengan istri dia, malah kalian telah ridha jika sama menjadi istri sah dia? Oya satu lagi, menurut sepengatuan adik, istrinya bisa menerima gak kalau adik nikah dengan suami dia?” aku terus membangkitkan semangatnya.
“Ya, dia menerima adik,, bahkan dia bilang suka dengan adik karena menurut tanggapan dia adik niyh baik. Pokoknya dia tidak keberatan lha bang. Tapi bang, apa benar kami (adik & istrinya) nggak boleh berbicara saling terbuka tentang dia? karena terkadang muncul pertanyaan tentang dia. Mungkin dampak daripada kebohongannya yang kemarin, kami jadi kurang percaya penuh terhadap dia. Jadi terkadang suka saling bertanya untuk memastikan apa benar apa yg dikatakannya. Naahh…, karena pembicaraan seperti inilah makanya dia sering menceramahi kami berbuat ghibah, bahkan pernah dia marah-marah. Apa sifatnya yang seperti itu bisa dimaklumi? Apa benar kami memang salah?”
“Boleh abang jawab?” selaku stelah dengan lamanya dia berserita.
“Ya tentu.. silahkan…” jawabnya
“Mungkin ada beberapa poin yang ingin abang garis bawahi,,, “
“Ya bang”
“Pertama, syukur sangat ketika istri dia mau menerima adik dan tentunya dia ridha dengan poligami ini dan ini juga untuk menutup celah maksiat.”
“Kedua, tentang bolehkah adik dan istrinya berbicara saling terbuka tentang si lelaki itu, menurut abang itu tidak boleh. Alasannya,, istri yang shalehah adalah istri yang mampu menjaga suaminya, menjaga harta suaminya, menjaga aib suaminya dan menjaga keluarganya. Jika dia menceritakan aib dalam keluarganya sama juga dia membuka auratnya”
“Ooo…, itu untuk saat ini. Bagaimana bila adik telah menjadi istrinya juga? Apakah tetap tidak boleh?” dia memotong pembicaraanku
“Sebentar,, abang belum selesai hehe” aku kesal
“Ok.” Jawabnya singkat
“Adik untuk sekarang juga tidak boleh mencari kesalahan dia karena itu hanya akan memperkeruh suasana yang ada. Yang terpenting untuk saat ini adalah adik dan istrinya sama - sama ridha menjadi istri-istrinya dan saling menjaga keutuhan keluarga nantinya jika adik telah sah jadi istri, dan ketika adik sudah sama - sama statusnya istri dia, maka itu adalah hak kalian bermusyawarah untuk menasehati, mengingatkan, membimbing untuk kebaikan suami kalian dan keluarga besar kalian.” Aku kembali melanjutkan penjelasanku
“Kembali seperti yang abang katakan diawal pembicaraan kita, poligami itu didasari atas keihlasan/ridha istri - istrinya, kesanggupan menafkahi dan niat menghindari maksiat yang tujuannnya untuk mencari ridha Allah. Jika itu sudah ada pada kalian bertiga maka Insyaalah berbahagia. Oya, one more, semuanya dilakukan dengan kejujuran, kebaikan, keihlasan, dan persamaan antara yang pertama dan yang kedua. dan bagi para istri bisa menerima kekurangan dan kelbihan suaminya dan madunya.” Kembali aku menjawab seperti pertanyaan dia tadi di awal pembicaraan
“Ok lanjut hehhe” kupersilahkan dia menanyakan lagi.
“Bagaimana dengan citra wanita yang berada di pihak yg kedua? Apakah akan selalu buruk di pandangan masyarakat? Dan apakah itu harus diperhatikan pula? Atau abaikan saja?” dia terus bertanya.
“Ya akan buruk “ aku diam.
“Tetapi” aku terdiam lagi.
“Buruk bagi masyarakat yang membenci poligami, buruk bagi masyarakat yang iri akan kerukunan hidup keluarga poligami, buruk bagi masyarakat yang suka mengusik keluarga keluarga yang hidup secara islami..” jelasku dengan tegas.
“Kalau bagi abang pribadi? Bagaimana adik di mata abang setelah tau semua ini?” ketakutan tergurat di wajahnya
“Abang sangat sedih” jawabku memelas.
“Penjelasan lebih lanjut…?” dia kelihatan bingung
“Sedih karena abang kan masih lajang, kok adik mengesampingkan pilihan ke abang, jika memilih abang pasti tidak ada saingan hehheeh” aku kembali bercanda.
“Hahhaha itu canda say” jelasku
“Menurut abang begini, dari awal abang sudah bilang, jika mereka saling ridha dengan kehidupan keluarga yang diperbolehkan dalam syariat dan tidak menimbulkan maksiat, apakah abang harus mengusiknya, harus berprasangka buruk? Abang bangga ketika masih ada dua wanita yang masih mampu berbagi dalam mencapai ridha Nya.” Aku kembali mengingatkan ke apa yang sudah aku bilang dari awal padanya.
“Berarti secara tidak langsung abang mau bilang lebih baik abaikan saja pandangan orang - orang yang menganggap posisi istri kedua itu buruk? Atau lebih jelasnya menganggap istri kedua itu tidak baik?” dia mencoba mengambil kesimpulan dari apa yang aku utarakan tadi.
“Ya,, karena menurut abang adik tidak melanggar hukum, baik secara agama maupun negara. Norma masyarakat juga tidak adik langgar. Jadi ketika adik masih menempuh jalan yang baik kenapa kita harus takut dengan gunjingan orang itu.”
“Haaahh…, muncul 1 lagi masalah. Abang udah ngerti tadi kondisi kami bertiga, intinya kekompakan sih ada. Begitu pula dengan niatnya… namun, orang tua tidak pro. Lantas harus bagaimana? Apakah harus menyerah begitu saja…? Ataukan tetap berusaha meyakinkan mereka?” dia kembali melemparkan masalah ke pikiran ku. Aku semakin ingin membantunya tapi aku kan bukan orang tuanya.
“Orang tua adik? Aku ingin kejelasan.
“Yupz..” jaabnya singkat
“Alasan mereka” tanyaku lagi.
“Mereka tidak terima kalau adik terlibat kehidupan poligami. Mereka takut nantinya adik tidak bahagia dengan berbagai alasan. Ya semacam itu lha bang, terlebih lagi semua ini diawalinya dengan kebohongan. Jadi ya ortu adik merasa kecewa dan pastinya juga kurang percaya bila adik tetap menikah dengannya apalagi untuk jadi istri ke 2.” Jelasnya dengan sedikit agak lelah dari suaranya. Mungkin dia lelah dengan semua ini, perjuangan yang terus mendapatkan hambatan.
“Tau gak alasannya pasti kenapa?” aku berharap dia kembali rileks
“Maksudnya bang?” tanyanya.
“Orang tua adik tidak terima dia karena telah memilih abang hahahhahaa” aku melemparkan pernyataan yang rupanya bisa merekahkan senyuman di bbirnya. Senyuman yang telah lama tak pernah kulihat.
“Kenalan dimana bang…?” tanyanya dengan logat canda pula.
“Dimana ya,, lupa,, mungkin karena belum dikenal ya kalau dah dikenal pasti gak diterima juga hehhehe” akhirnya suasana mencair dan dia sedikit lebih rileks.
Mengingat waktu terus berputar, aku ingi n menyelesaikan diskusi panjang ini. Kuarahkan lagi pembicaraan ke topik awal.
“Btw, sekarang apa yang akan adik lakukan untuk mencapai impian adik tu” aku mencoba mencari tahu kesimpulannya.
“Ntah lha bang… adik pun blom tau… dari dia sendiri seperti makin surut gitu tekadnya… yang masih baik saat niyh justru hubungan adik dengan istrinya. Makin akrab malah tapi dengan dia, berubah banget. Sikapnya tidak seperti dulu lagi.” Jawabnya dengan penuh kebiasan dan sekan bimbang.
“Adik bukan mau nikah ma istrinya khan” kembali canda yang aku lemparkan.
“Ya bukan lha bang…emangnya adik perempuan apa kah…??” dia kembali tersenyum.
Aku tahu dia mulai jenuh juga dengan diskusi ini. Kulihat dia membuka HP nya dan seakan membaca sesuatu dan sepertinya tak terlalu fokus dengan apa yang akan ku kutakan. Namun sebagai sahabat aku tetap berupaya memberi solusi.
“Ya semua orang tua tentunya menginginkan kebahagian bagi anaknya dan perempuan itu bukan menikah tapi dinikahkan oleh walinya tapi apakah kalau adik bersuamikan lajang apa sudah tentu bahagia? Ada beberapa saran dari abang kalau adik mau lakukan, adek bisa jelasin ke ortu adik tentang kebaikan dan kebahagiaan yang akan adik dapatkan, adik bisa juga minta bantu istri dia untuk menyakinkan ortu adik, atau kalian bertiga yang menyakinkan mungkin ini akan lebih membuat ortu yakin melihat kerukunan kalian” aku memberi beberapa solusi tapi dia malah bangkit dari hadapan ku tanpa mengucap sepatah katapun. Dia berlalu pergi dan menghilang di kejauhan.
Aku kini kembali sendiri dan hanya ditemani oleh pikiran – pikiran yang telah dibawa olehnya. Aku bingung, tadi dia sangat serius tapi sekarang pergi tanpa pamit. Itu tidak biasa baginya. Apakah dia marah? Kesal atau ada apakah gerangan.
30 menit kemudian sebuah SMS masuk ke HP ku
“Bang, maaf tadi buru – buru, nanti kita lanjutkan diskusi ini”

0 comments:

Post a Comment