Sunday, May 22, 2011

Filled Under:

Cinta Antara Fiksi dan Fakta


1306078217982692821
ilustrasi (google.com)

Hari semakin senja dengan kicauan burung yang akan memudar, lenyap dalam gelap malam. Sinar lembayung dari ufuk barat masih menyisakan sedikit terang untuk mengguratkan sketsa wajah dua insan di sebuah taman tua. Seorang perempuan berambut panjang hitam dan lurus, berparas indah dengan bola mata yang sayu, gemulai dalam menggerakkan tangan dan santun dalam mengeluarkan kata. Duduk berdampingan dengan seorang pria gagah, tampan dan wibawa. Dari wajah dan tubuhnya terlihat dia adalah pekerja keras dan seorang pemikir akan nyata.
“Kita tak mungkin menyatu Fak, dunia kita beda, kita tidak sama” sebaris kata keluar dari bibir merah gadis bernama Fiksi. Sebuah penolakan atas ajakan Fakta, pria yang dari tadi mengobrol dengannya.
“Beda, dimana kita berbeda, tahukah kamu kita ini sama, kita terlahir dari pikiran yang sma dengan tujuan yang sama” Fakta masih bersikukuh dengan pendapatnya.
Mereka terus saling melemparkan pendapat untuk menjadi satu, satu dalam kebersamaan, satu dalam segalanya.
Ya, kita memang terlahir dari keturunan yang sama tapi bukan berarti kita sama, ya kita memang mempunyai tujuan yang sama tapi itu juga bukan alasan kita harus bersatu”
“Jadi haruskah kita berpisah? Haruskah cinta yang tertanam di antara kita, cinta yang telah ditancapkan oleh pencipta kita ini kita hancurkan hanya karena menurutmu kita beda?”
“Tahukah kamu dimana beda kita Fak?” tany Fiksi spontan ketika sejenak Fakta terdiam.
“Tolong kamu jelaskan Fik!”
“Karena aku lebih hebat dari kamu, karena aku lebih sempurna dari kamu Fakta!” Keangkuhan Fiksi muncul, keangkuhan akan kehebatannya, akan keangkuhan keluarganya.
“Apa? Kamu lebih hebat? Kamu lebih sempurna?” Fakta mencibir, seakan dia tak percaya kalau Fiksi akan berkata demikian. “Fakta adalah yang merubah dunia Fik, bukan kamu, bukan keluargamu tapi keluarga Fakta!” lanjut Fakta dengan raut muka marah.
“Ah, bisa kah kamu sebutkan buktinya Fak?”
“Lihatlah Fiksi, lihat disekelilingmu, lihat dunia ini, dunia ini adalah Fakta, Lihat buku ditanganmu adalah Fakta, lihat mereka yang bekerja mengemis di jalan, lihat para ilmuan yang merubah dunia. Semua itu Fakta bukan Fiksi”
“Oh, hanya itukah? Tahukah kamu bahwa buku yang ditanganku ini Buku Fiksi, bukan Buku Fakta, tahukah kamu bahwa dulunya ilmu - ilmu itu hanya fiksi, tahukah kamu bahwa teknologi yang kamu gunakan dulunya hanya Fiksi. Dan tahukah kamu sebelum Fakta ada maka Fiksi telah terlahir seperti terlahirnya ilmuan yang barawal dari Fiksi”
Perdebatan terus berlanjut, Fiksi tetap bertahan dengan argumennya dan Fakta pun begitu. Tak ada yang mengalah, tak ada yang saling memuji keccuali atas dirinya.
“Fak, kenapa kita terus berrdebat seangkan senja akan segera tiba?” tanya Fiksi tiiba - tiba.
“Ya karena kita masih mencari kebenaran dan pencarian itu tak ada batasannya” singkat
“Fak, sebenarnya kita memang sama, kita terlahir dari keturunan yang sama, hanya jalan kita yang berbeda”
“Iya, sekarang aku juga paham akan itu, jalan dan pikiran kita memang ditakdirkan berbeda, kita bisa saling mendukung demi tujuan yang sama meski jalan berbeda”
“Benar Fak, kerena terkadang kamu juga dijadikan aku dan di lain kesempatan sebahagian menganggap aku adalah kamu. Itu bukan salah kita, itu adalah hak mereka yang menilai sedangkan kita tetap pada apa yang kita bisa”
“Satu lagi Fiksi, Fakta memanglah Fakta, dan Fiksi adalah Fiksi, tetapi sesuatu bisa menjadi Fiksi dan atau Fakta tergantung pada masa dan siapa yang menilainya”
Itulah kata yang keluar dari Fakta, dia beranjak pergi meninggalkan Fiksi dalam kesndiriannya, meninggalkan Fiksi yang akan terus menjadi Fiksi dan terkadang menjadikan Fakta ibarat Fiksi. Fakta melangkah dengan harapan Fiksi - fiksi yang lain suatu saat akan menjadi Fakta.
&&&&&&&&&&&&

0 comments:

Post a Comment