Aku adalah seorang pria yang terlahir
dari keluarga sederhana. Pernah mengecap pendidikan Sekolah Tinggi
meskipun tidak lulus karena disibukkan dengan masalah ekonomi. Tapi itu
tak membuat diri ini menyesal karena bagiku belajar tidak hanya di
bangku-bangku bersusun rapi. Jadi, jadilah aku pria yang mengejar
segalanya. Egois. Selalu mengejar kesuksesan.
Teman-teman
memanggilku Rimba meski itu bukanlah nama asliku. Hanya karena 3 tahun
yang lalu aku bergabung dengan organisasi masyarakat pecinta lingkungan
khusunya bidang hutan dan air. Meski sebagai anak baru tetapi aku selalu
ingin menjadi terdepan. Berdebat, menonjolkan kemampuan, belajar dan
bekerja adalah kesibukanku di sana. Dan dengan ini aku berharap mampu
mengontrol pikiranku yang biasanya gundah. Tak ada tujuan ekonomi yang
aku cari kecuali kebahagian.
Dua
tahun lalu aku telah berhasil masuk dalam jajaran pengurus pusat. Aku
dipercayakan untuk memberikan orasi jika ada demo baik dijalanan,
didepan kantor pejabat atau tempat lainnya. AKu sering dipercayakan
sebagai pemberi materi jika ada seminar lingkungan. Aku sering
ditugaskan untuk melobi perusak-perusak lingkungan agar memperhatikan
lingkungan. Aku menjadi ikon organisasi. Rimba, si penjaga hutan dan
air. Itulah gelarku.
Mulai saat itu,
tidak butuh waktu lama bagiku untuk melobi pejabat agar memberikan
donasinya ke organisasi kami dalam melestarikan hutan. Hanya butuh
beberapa kali pertemuan dnegan pengusaha sebelum mereka melontarkan
segopak uang ke organisasi kami. Kegiatan lancar, organisasi besar,
masyarakat senang kecuali para cukong perambah hutan, para pengusaha
galian C ilegal. Tetapi Rimba menjadi penghalang bagi mereka untuk terus
melanjutkan usaha-usaha mengkeroposkan hutan.
"Rimba,
kau sangatlah hebat. Namamu telah dikenal oleh masyarakat sebagai
penyelamat hutan. Dikenal oleh pengusaha sebagai rintangan bagi mereka.
Dikenal oleh penguasa sebagai mitra kerja yang baik" kata Didi, seorang
pengusaha muda yang ku ketahui ingin melakukan penebangan tidak jauh
dari sumber mata iar yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat.
"Ya,
itu karena buah kerja organisasi kami, bukan aku saja" jawabku singkat.
Dan itulah gaya bicaraku. Singkat, lugas dan langsung ke tujuan.
"Tapi
lihatlah dirimu Rimba, kehidupanmu. Penuh kekurangan. Keluargamu
miskin. Kau bekerja ditempat tak bergaji. Kau hanya mementingkan orang
lain. Dan lihatlah teman-temanmu, mereka hanya menggunakan separuh waktu
untuk organsasi dan separuh lainnya untuk bekerja. Sehingga merka
berkecukupan" lanjuta Didi.
"Cukup, aku mnta maaf karena lagi sibuk" potongku.
"Baiklah
Rimba, ini sumbangan pertama kami untuk lembaga. Jika kau butuh uang
untuk keperluan pribadi jumpai aku" Didi beranjak pergi dariku setelah
dia meninggalkan selembar kartu nama diatas segopok uang.
***
Aku
gelisah, teringat kata-kata Didi. Mata semakin sulit dipejamkan dan
tidak biasanya aku bimbang. Benar kata-katanya kalau aku miskin, aku
kekurangan dan kehidupanku berbeda dengan teman lainnya. Mskipun aku
penuh prestasi tapi semua itu tidak bisa dijadikan uang. Dan jika ada
uang semuanya aku serahkan untuk organisasi. Aku hanya menerima salary
yang hanya mencukupi untuk makan dan kebutuhan pokokku saja. Lalu apakah
aku akan selamanya begini? Apakah aku sudah bahagia. Jika iya, kenapa
aku harus harus merana dengan pikiran ini dimalam ini?
***
"Jadi kau menerima tawaranku Rimba?" tanya Didi setalah hampir setangah hari kami ngobrol di sebuah cafe.
"Iya, asalkan kamu juga paham dengan tawaranku tadi" jawabku singkat.
"Oke, deal" kami bersalaman. Sebuah babak baru akan segera dimulai.
Aku
masih beraktivitas seperti biasanya. Tak ada perubahan dalam kampanyeku
menjaga hutan danHanya keadan ekonomiku yang berubah.air. Dana untuk
lembaga masih mengalir seperti biasanya. Malah kadang jauh diatas
target.
Telah dua bulan ini aku
menggunakan mobil pribadi dalam kegiatanku. Keadan ekonomiku semakin
membaik. Kinerja lingkunganku hanya tersisa untuk kampanye saja. Aku
mulai jarang masuk ke pedalam untuk melihat langsung pengrusakan hutan.
Aku mulai jarang bertemu media.
"Rimba,
ada perusahaan yang cukup parah dalam merambah hutan, apa kamu bisa
menemui pemimpin perusahaan itu?" tanya Pak Direktur pada suatu hari.
"Iya Pak, aku akan menemui Pak Didi, tapi selama ini dia juga menyumbang untuk kita pak!"
"Rimba,
kau pernah bilang padaku. Lebih baik kehilangan uang daripada
kehilangan hutan. Jadi putuskan saja kerjasama dengannya. Aku juga
heran, kenapa dia bisa lolos dari pantauan kita." ceramah Direktur.
"Oke Pak. Saya akan mencoba mencari jalan keluarnya"
Aku bingung. Aku terjerumus antara nama baik dan harta. Aku tersandera antara nafsu dan idealisme.
Jika
aku memutuskan hubungan dengan Didi maka tidak ada lagi uang yang
mengalir kepadaku. Lalu, ancaman Didi yang akan membongkar semuanya akan
menjatuhkan nama baikku. Aku tidak mau disebut sebagai Rimba, si Topeng
Nafsu. Yang rela menggadaikan idealisme, hutan, dan air untuk mengejar
harta. Aku tidak mau. Tapi aku juga tidak mau kehilangan hartaku, sumber
uangku yang melebihi dari sumber tempat aku bekerja.
***
Rimba, aktivis lingkungan Ditangkap
Begitulah
Headline surat kabar dikotaku. Aku hanya bisa membacanya dari balik
jeruji. Penggerebakan itu telah berhasil menjebakku. Persekongkolan para
mafia hutan telah berhasil menjatuhkanku. Topeng nafsuku telah melukai
semua torehan emas masa laluku. Kini aku hanya seorang hina.
Kadang,
untuk mendapatkan kebahagian dunia kita melakukan berbagai cara. Dan
sekian banyak dari mereka termasuk aku menggunakan topeng nafsu.
Bersembunyi dibalik kebaikan untuk melakukan kejahatan. Bersembunyi di
balik nama baik untuk melakukan kecuarangan. Tapi, kejahatan akan tetap
terbongkar dan aku menjadi tumbal nafsuku sendiri. Nafsu keserakahan.
0 comments:
Post a Comment