“Po, kamu sakit ya? Kamu menangis ya?”
Po cuma diam membisu, dia terduduk di
rimbunnya ilalang. Dengan mata yang berkaca-kaca, Po menatap Bahrum yang
bersimpuh di sebelah kanannya. Po tidak bergerak, seakan merasakan
sakit dan sesal yang mendalam. Pelan-pelan Po menoleh ke Bahrum, seperti
menghiba dan mendadak menggerakkan kaki kananya. Bahrum tersentak, tak
terasa mengayunkan tubuh dengan cepat menjauh dari Po. Po kembali diam.
“Po, ada apa denganmu, kenapa kamu diam
dan hanya menggerakkan kaki kananmu. Ada apa dengan kaki kirimu Po?”
Bahrum kembali mendekat. Dia memantapkan hati untuk memeriksa kaki kiri
Po yang masih tersembunyi dibalik ilalang. Tubuh Po yang besar
sebenarnya masih mengcutkan hati Bahrum tapi rasa penasaran akan keadaan
Po telah menyemangitinya.
“Tenang Po, Bapak gak akan mencelakanmu
dan bapak harap kamu juga tidak mencelakakan bapak” Bahrum mulai
mengusap hidung Po, menjelajahi wajah Po yang kasar dan berhenti di
telinga. Po masih tenang seperti merasakan usapan orangtuanya yang telah
lama tidak dirasakan. Po merebahkan kepalanya di rerumputan Seakan
memberi peluang bai Bahrum memeriksa kakinya.
“Ya Allah, kakimu Po, kakimu tertusuk paku. Kenapa bisa begini Po? Siapa yang melakukannya?”
Po hanya mendesah sambil mendekatkan
kepalanya dengan Bahrum. Po merasa nyaman dan begitu juga Bahrum.
Paku-paku yang ada di telapak kaki Po pun dicabutin Bahrum. Tak ada
rintihan.
Po dan Bahrum semakin akrab. Mereka
bertemu setiap hari. Setiap Bahrum datang ke kebun tentu Po telah
menunggu disana. Kian hari kaki Po semakin membaik dan dia sudah bisa
berlari mengitari hutan yang lebat dan di sore hari kembali ke kebun
Bahrum.
Bukan hanya Bahrum yang akrab dengan Po,
tetapi warga yang yang sering ke kebun juga telah menjadi teman Po.
Seakan Po kini menjadi anak yang hilang yang telah datang mengisi
hari-hari warga. Tapi sekian lama tidak pernah hadir keluarga Po untuk
menjenguknya.
“Po, kamu bapak kembalikan ke ibumu ya?” tanya Bahrum suatu hari.
Po berontak, dia marah. Berlari ke kebun
pisang. Mencabuti pisang-pisang di kebun. Po serptinya marah. Dia
meraung-raung sambil terus merusak kebun warga.
“Po, tadi bapak cuma bercanda!” Teriak Bahrum kepada PO. Dan dalam sekejap Po kembali tenang.
Begitulah, Po semakin tidak ingin meninggalkan Bahrum dan yang lainnya.Masyarakatpun sudah sangat menyayangi PO.
Pada suatu hari, serombongan orang yang
mengaku dari institusi lingkungan hidup datang ke desa dimana Bahrum
tinggal. Mereka bermaksud membawa Po ke Pusat Penangkaran Satwa Liar
tetapi masyarakat mencegahnya karena bagi mereka Po telah menjadi
bagian dari keluarga. Akhirnya rombongan itu pulang.
Beberapa hari kemudian, rombongan
tersebut datang lagi dengan tambahan personil dari pihak keamanan. Masih
seperti maksud kedatangan yang pertama mereka ingin membawa Po ke
Pusata Penangkaran. Kali ini masyarakat kalah. Mereka tak kuasa
mempertahankan Po di habitatnya. Po diangkut ke Pusat Penangkaran Satwa
Liar.
Bahrum merasa kehilangan sahabat, anak, keluarga, dan peliharaannya.
Tidak ada kabar dari Po.
Beberapa bulan kemudian, segerombolan
gajah mendatangi kebun-kebun warga. Mereka memproak-porandakan tanamana.
Mengahncurkan kebun dan pondok-pondok warga. Masyarakat resah. Karena
sudah puluhan tahun gajah tak pernah mengusik pekebunan mereka.
Dan mulai hari itu, 4 ekor gajah terus
merusak perkebunanan. Tanaman kacang, jagung, pisang, nangka, ubi semua
menjadi tak berguna. Tidak ada lagi hasil panen. Meski sudah dilakukan
upaya pengusiran tetapi mereka bergeming. Laporan ke Pemda dan pihak
terkait juga belum mampu menghalau Poe Meurah - Poe Meurah tersebut.
Apakah mereka mencari anaknya yang hilang? Atau habitat mereka telah sangat terusik?
Terinpirasi dari kisah nyata di salah satu desa pedalaman di Aceh.
0 comments:
Post a Comment