Seminggu yang lalu aku bertemu
dengannya. Ketika sama-sama membeli sebilah parang pada pandai besi
ternama. Sebenarnya ini bukan kali pertama aku membeli parang bahkan ini
menjadi parang yang ketiga di bulan ini. Hanya karena setiap parang
yang aku beli tidak memuaskanku maka terpakasa aku kembali membeli. Di
sebuah gubuk yang dipenuhi parang, pisau, pedang, cangkul dan beberapa
benda lain. Aku disibukkan mencari parang yang bagus dan rapi. Api untuk
menempa parang masih menyala membara. Seakan memanaskan seluruh udara.
Tukang besi masih sibuk menempa baja. Aku tertegun dengan parang-parang
yang tak ku ketahui harga. Disaat itulah seorang pria paruh baya datang
menyapa. Mengejutkanku yang sejak tadi tak bicara.
“Lihat apa kamu. Parang atau pisau?” tanya pria itu yang aku sendiri tak mengenalnya.
“Aku sedang mencari parang pak. Sudah 3
kali aku membeli parang tapi selalu kecewa. Jangankan untuk menebas kayu
seuntang, menebas pisangpun kadang tak bisa” ujarku sambil tetap
memperhatikan parang satu persatu.
“He he he, anak muda membeli parang.
Jangan harap mendapatkan yang garang. Bisa-bisa itu parang sembarang
yang dijual hanya untuk mendapatkan uang” uajarnya lagi yang membuat aku
kembali menatapnya.
“Maksud bapak?”
Lalu dia menjelaskan tentang parang
padaku. Tentang bentuknya yang tidak kaku. Tentang cara memilihnya
sehingga tidak ditipu. Dia juga turut memilih sebilah parang yang
menurutnya parang bermutu. Tanpa pikir panjang aku membeli parang yang
ada tanda siku. Ternyata parang yang bagus di kotaku ditandai begitu.
Nek Lah, begitulah dia menyuruh
memanggilnya. Lelaki tua yang dalam keseharian sibuk dengan hutan dan
rimba. Dia penjaga hutan di kaki bukit berbatu. Bukan sembarang penjaga
tetapi pekerjaan ini dikerjakan tanpa ada yang menggaji walau dengan
beras satu bambu. Nek lah pernah bilang padaku bahwa dia menjaga hutan
bukan untuk harta ataupun lembaran biru. Pekerjaan ini didekasikan bukan
untuk dia ataupun aku. Tetapi semua ini dilakukannya untuk anak cucu.
Hari ini aku kembali bertemu dengannya.
Sejak pertemuan pertama hampir setiap hari kami bertemu baik di rumahnya
atau di tepi rimba. Kami bicara tentang air, hutan, dan segala satwa.
Ilmunya cukup banyak dan hampir merata. Tidak ada teori ketika dia
berkata. Bukti-bukti nyata dari pengalaman itulah yang ada. Aku tertegun
setiap kali kami bicara. Aku terdiam karena dia benar-benar lelaki tua
yang sangat berjasa.
“Kadang aku berpikir, ketika aku mati siapa yang akan menjaga hutan di kakit bukit berbatu” ujarnya di pagi ini.
“Bukankah masih banyak warga disini pak. Bukankah hutan itu bukan hutan bapak. Itu hutan masyarakat”
“Nak, itu hutan adat. Hutan itu memang
bukan hutan aku tapi punya anak cucu yang dititipkan pada kita”
begitulah selalu jawaban dia setiap kali aku mencoba menanyakan tentang
hutan.
***
“Sudahlah pak, kita tidak akan mampu
melawan mereka. Kita hanya rakyat biasa yang bisa diinjak-injak oleh
kebijakan penguasa dan pengusaha. Kita akan selalu menjadi korban meski
melawan atau tidak. Lebih baik bapak beristirahat di rumah saja. Ini
bukan kesalahan bapak tetapi waktu yang tidak tepat dan bapak berada di
posisi yang tidka tepat pula” aku mencoba merayunya untuk tidak pergi ke
hutan pada hari ini.
Menurut informasi yang aku dengar dari
warga kampung, pada hari ini akan ada pengusaha yang meninjau lokasi di
hutan adat desa. Mereka berencana membuka perkebunan sawit dengan
didukung penguasa. Untuk kesejahteraan masyarakat katanya. Untuk
menambah pendapatan daerah dalam pembangunan, rayu penguasa. Semua
masyarakatpun sepakat melepas hak hutan adat demi segepok uang. Mereka
terbuai oleh mimpi akan memdapatkan lapangan kerja di tempat itu.
“Tidak. Aku tidak pernah setuju dengan
rencana ini. Kakekku, ayahku, dan aku telah menjaga hutan tetap asri.
Mengapa hari ini aku harus berlari. Kita lihat saja nanti apa yang
terjadi. Mereka yang akan pergi atau aku yang akan mati” dia masih
bersemangat. Sama dengan semangat-semangat beberapa hari yang lalu.
Tidak ada raut wajah ketakutan pada dirinya. Dan sebilah parang menyelip
dipinggangnya.
“Pak, dengarkan aku. Bukan begini
caranya melawan mereka. Ini negara hukum, kita bisa melapor ke pihak
berwajib nanti. Kita tidak sendiri pak.”
“Tidak, aku bilang tidak maka tidak.
Siapa yang peduli dengan hutan ini kecuali kami yang hidup bersamanya.
Pihak berwajib, aktivis, pemerhati, mereka sudah sering menjumpaiku dan
kamu tahu apa yang mereka katakan?” Dia bertanya sambil menatapku
dalam-dalam. Ada rasa takut dalam hatiku.
“Tidak pak”
“Persis sama seperti apa yang kau
katakan tadi. Tapi lihatlah sekarang, hari ini hutanku akan
dipindahtangankan. Hari ini hutanku akan sendirian. Hari ini biarlah
dunia tahu bahwa masih ada yang menjaga hutan”
Dia berlalu dari hadapanku. Derap langkahnya semakin tegap. Dia seperti berpacu dengan waktu. Dengan kuda-kuda yang telah siap.
Aku masih tertegun di tempat aku
berdiri. Hati aku ragu, apakah berlari mengikutu atau menunggu dengan
resah hati. Semakin menjauh, samar-samar bayang tubuhnya menghilang di
persimpangan jalan. Hatiku semakin bimbang. Aku takut sesuatu terjadi
padanya, pada penjaga hutan. Ku bulatkan tekad untuk menyusul ke hutan.
***
“Kalian lihat aku, selama aku masih
berdiri di wilayah hutan adat maka tidak seorang pun yang boleh merambah
hutan ini. Kalian dengar?” Teriak Nek Lah yang membuat aku terkejut
ketika sampai di hutan. Ada beberapa warga disana. Ada pria-pria berdasi
disana. Ada lelaki-lelaki bersenjata disana. Dam mereka semua berdiri
dihadapan Nek Lah.
“Nek Lah, dengarkan aku kali ini. Mari
kita pulang. Mari Nek” aku berujar padanya. Mencoba menenangkannya agar
sesuatu tidak terjadi.
Dia bergeming. Kaki-kakinya kokoh bak karang. Dengan sebilah parang ditangan, dia terlihat bak seorang kastria di medan perang.
Para pria-pria di kelompok seberang
terdiam. Pembicaraan terhenti bagai di malam yang kelam. Hanya kicauan
burung-burung yang terdengar. Desiran dedaunan diterpa angin yang masih
segar.
“Kalian pergi dari sini, cepat” Nek Lah
kembali menghardik pria-pria itu. Tapi mereka masih diam. Apakah mereka
akan pergi atau, ah aku tidak boleh berpikir begitu.
“Door dorr”
Nek Lah terkapar. Aku tak sempat meraih
tubunya yang berdiri disampingku. Darah segar mengucur di dada. Taka da
lagi sinaran mata. Sebilah parang bertanda siku tergenggam erat
ditangan.
====
Terinspirasi dari banyaknya penembakan terhadap pemilik lahan oleh “OTK”
mantap gan
ReplyDelete--> Komik Hentai <--
Yang suka Komik HENTAI.. download aja langsung kesini.. UPDATE HARIAN
http://small-manga.blogspot.com